TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengajukan uji materi menuntut pencabutan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebab, selama ini berbagai pungutan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, hanya didasarkan pada peraturan pemerintah.
"Pungutan bukan lewat undang-undang sehingga rawan diselewengkan dan diperlakukan semena-mena," kata Ketua Umum APJII, Semual A. Pangerapan, saat dihubungi, Kamis, 1 Mei 2014.
Semual menyatakan industri memang perlu membantu pembangunan dan memberikan sumbangan. Namun demikian, upaya yang dilakukan harus konstitusional. Menurut dia, Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pungutan memaksa harus melalui undang-undang.
"Kok, pemerintah mengakali pakai peraturan pemerintah. Mau mengutip dari rakyat, tapi enggak mau izin ke rakyat lewat DPR," katanya.
APJII, ujar Semual, selain mengajukan uji materi, juga menyiapkan dan memfasilitasi penyusunan naskah akademis yang didukung para ahli berbagai bidang. Tujuannya untuk memberikan masukan yang konstruktif bagi bangsa Indonesia. "Jadi, selain mengajukan judicial review, APJII juga memberikan solusi," ujarnya.
Dalam sidang yang digelar pada Rabu, 30 April 2014, APJII mendatangkan saksi ahli dari Universitas Indonesia, yakni Prof DR Haula Rosdiana MSi. Dalam kesaksiannya, ucap Semual, Haula menyatakan bahwa PNBP telah menimbulkan efek negara bayangan yang sangat membahayakan.
Haula, yang juga pakar kebijakan perpajakan ini, bersaksi bahwa UU PNBP sudah harus diubah. Sebab, kelahirannya terjadi pada 1997, ketika era Orde Baru yang sentralistik. UU yang mengatur kutipan ke masyarakat itu justru lahir lebih dulu dari UUD 45 yang diamandemen tahun 2001.
Menurut Haula, negara bayangan sama dengan negara dalam negara. PNBP secara praktis sama dengan pajak. Pungutan yang bersifat memaksa harus diatur oleh undang-undang. Sedangkan ahli hukum pajak dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mustaqiem, mengatakan keberadaan PNBP sama dengan pajak karena keduanya diatur dalam pasal yang sama, yaitu Pasal 23A UUD 1945.
"Pajak dan pungutan-pungutan lain yang bersifat memaksa untuk negara diatur dengan undang-undang," tuturnya. Sehingga, ia berujar, saat bersaksi di Mahkamah Konstitusi, penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan yang menempatkan beban kepada rakyat harus didasarkan pada undang-undang.
Mustaqiem mengatakan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP merupakan produk hukum yang ragu-ragu sehingga tidak selaras dengan kehendak Pasal 23A UUD 1945. "Supaya selaras dengan kehendak Pasal 23A, maka rumusan hukumnya harus berhenti pada kata yang berbunyi ditetapkan dengan undang-undang," ujar dia.
PINGIT ARIA
Baca juga
Asosiasi Jasa Internet Ajukan Uji Materi UU PNBP
Dituduh Korupsi, Tersangka Kasus MPLIK Bingung
Terpopuler
Jiplak Drama Populer Korea, RCTI Akan Digugat
Dinihari Nanti, Jose Mourinho Akan Diadili
KPK: Boediono Harus Jadi Teladan