TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen PT Kimia Farma Tbk menargetkan bisa menghemat devisa negara setelah membangun pabrik garam farmasi di Watudakon, Jombang, Jawa Timur. Pasalnya, dengan pabrik garam farmasi yang dimiliki sekarang, perusahaan tak perlu lagi mengimpor bahan baku dalam jumlah besar untuk kemudian diolah.
“Untuk garam farmasi kebutuhan kita kan 3 ribu ton, jadi nilai efisensinya sekitar US$ 2,5 juta (kalau kebutuhan itu bisa dipenuhi dari dalam negeri),” kata Direktur Utama Rusdi Rosman di kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Jakarta, Selasa, 22 April 2014.
Saat ini 95 persen kebutuhan obat industri farmasi masih tergantung pada bahan baku impor. Salah satu bahan baku yang diimpor adalah garam farmasi.
Bahan ini biasanya digunakan sebagai bahan obat seperti infus, produksi tablet, pelarut vaksin, sirup, dan oralit. Dengan adanya pabrik ini, Rusdi optimistis bisa menghentikan impor garam farmasi yang jumlahnya mencapai 6 ribu ton per tahun dan garam pangan 320 ribu ton per tahun.
Adapun seluruh nilai investasi pembangunan pabrik yang menelan Rp 28 miliar ini berasal dari kas perusahaan Kimia Farma. “Kami memiliki cash on hand sekitar Rp 98 miliar, sehingga tak perlu berutang,” kata Rusdi.
Pabrik tersebut diperkirakan akan mulai berproduksi pada akhir tahun. Bila semula kapasitas produksi pabrik ini baru 3 ribu ton per tahun, maka jumlah itu akan naik menjadi 6 ribu ton per tahun setelah ada tambahan investasi dalam pembangunan pabrik tersebut. “Kami menargetkan ekspor, tapi setelah pasar domestik terpenuhi,” tuturnya.
Dengan tambah kencangnya produksi pabrik tersebut, Rusdi juga yakin harga jual produknya bisa lebih murah. “Jika farmasi impor dijual dengan harga Rp 9 ribu per kilogram, maka produk lokal rencananya akan dijual Rp 6 ribu per kilogram,” ucapnya.
FAIZ NASHRILLAH
Berita terpopuler:
Wali Kota Risma ke BEI, IHSG Bergerak Lesu
BI: Inflasi Tahunan Bisa Turun Menjadi 7,18 Persen
Bursa Jawa Tengah Tak Terpengaruh Momen Politik