TEMPO.CO, Jakarta - Serbuan barang impor, khususnya telepon seluler pintar membuat Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berang. Bagaimana tidak, pasar telepon mobil di Indonesia kini menembus 220 juta pelanggan, tapi hingga kini belum ada satu industri yang memproduksi di dalam negeri.
Melihat kondisi ini, Lutfi mengusulkan agar pemerintah membatasi impor dengan memberlakukan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk telepon selular pintar (smartphone). Wacana ini sebagai upaya pemerintah untuk mengendalikan impor dan peningkatan ekspor sektor industri. "Saya sudah bicara dengan Pak Hidayat (Menteri Perindustrian) soal PPnBM untuk smartphone ini," ujarnya, di Kantor Pusat PT Pelabuhan Indonesia II, Senin, 7 April 2014.
Menurut dia, wacana soal penerapan pajak barang mewah untuk smartphone ini sudah dibahas sejak tahun lalu. Apalagi, Indonesia memiliki komitmen untuk memiliki 220 juta pelanggan telepon seluler, namun industrinya belum ada. "Kalau hanya mengandalkan barang impor, kasihan industri dalam negeri tidak bisa berkembang."
Pengenaan pajak barang mewah atas smartphone ini, kata dia, juga penting diterapkan mengingat sering beredarnya ponsel ilegal. "Itu adalah bagian dari kecurangan, jadi jangan sampai karena kecurangan itu kita mengorbankan industri nasional," ujarnya.
Lutfi mengatakan, pengenaan pajak barang mewah pada smartphone ini tak akan memberatkan masyarakat. "Ini kan memang untuk yang harganya tinggi untuk Rp 5 juta ke atas, yang terpenting memberikan kesempatan supaya industri dalam negeri bisa tumbuh."
Dalam kajian Kemenperin, pada 2013 impor produk telepon seluler, komputer genggam, dan komputer tablet berjumlah 55 juta unit dengan nilai mencapai US$ 3 miliar atau sekitar Rp 33 triliun (dengan asumsi rata-rata per unit Rp 600 ribu). Adapun perkiraan 15 persen di antaranya merupakan produk barang mewah.
Dengan pengenaan PPnBM 20 persen diharapkan akan ada pengurangan impor ponsel, komputer tablet, dan komputer genggam sebesar 50 persen. Dengan begitu, akan terjadi penghematan devisa sebesar US$ 1,8 miliar atau setara Rp 2 0,6 triliun. Di samping itu akan ada potensi peningkatan devisa negara sebesar Rp 4,1 triliun.
AYU PRIMA SANDI