TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang menyatakan, konsumsi cokelat penduduk Indonesia saat ini meningkat. Beberapa tahun lalu, konsumsi dalam negeri hanya 0,016 kilogram per kapita. Hingga awal tahun kemarin melonjak hingga 0,3 kilogram per kapita.
Biarpun meningkat, tetapi jumlah tersebut masih jauh dari tingkat konsumsi negara lain. Zulhefi memberi contoh penduduk Swiss yang makan cokelat hingga 15 kilogram per kapita. Adapun penduduk negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura, konsumsinya mendekati 1 kilogram per kapita.
Menurut Zulhefi, bahan baku cokelat selama tiga tahun menurun. "Sejak 2009 trennya menurun sehingga Askindo mendorong agar industri makanan coklat tidak memproduksi setengah jadi lagi," katanya. Dia berharap agar industri perumahan bisa mencampurkan cokelat di produk tradisional seperti serabi, dodol, sehingga terangkat penjualan produk nasional dan produk coklatnya.
Dia menambahkan, 400 ribu ton biji kakao siap diolah untuk industri setengah jadi. Padahal sebelumnya, pada 2010, Indonesia lebih banyak mengekspor biji kakao. Tapi karena ada program hilirisasi sejak april 2010 melalui pajak ekspor biji kakao, saat ini industri setengah jadi meningkat luar biasa. Sebelum ada program tersebut, biji kakao yang diolah hanya 125 ribu ton. Tahun lalu, angkanya melonjak hingga 350 ribu ton yang diolah di dalam negeri.
Namun, kata Zulhefi, produksi biji kakao hanya 450ribu ton. "Ini sudah lampu kuning padahal kapasits industri 600 ribu ton. Jadi kalau jalan semua bahanya cumam 450 ribu ton, tentu kita kekurangan," kata Zulhefi.
APRILIANI GITA FITRI
Terpopuler:
Lukisan Renoir Dijual Rp 85 Ribu di Pasar Loak
Penumpang Ini Rekam Kecelakaan Pesawat dari Kabin
Bandara Bangkok Antisipasi Aksi 'Shutdown' Besok
Bangkok Mulai Dikepung Demonstran, Mal Tutup Awal
Pasangan Hollande Dirawat Setelah Isu 'Affair'