TEMPO.CO, Jakarta - Bank sentral Amerika Serikat alias Federal Reserve ( The Fed) memutuskan untuk mengurangi stimulus moneternya berupa pembelian surat berharga di pasar sekunder sebesar US$ 10 miliar, dari US$ 85 miliar menjadi US$ 75 miliar mulai Januari 2014. Setelah kepastian tersebut, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia segera menghijau pada Kamis, 19 Desember 2013.
Hingga pukul 10.45, IHSG naik 41,63 poin atau 0,99 persen ke level 4.237,92. Sementara itu, mengacu pada referensi kurs Reuters, nilai tukar rupiah berada di level Rp 12.195 per dolar AS, melemah Rp 72 dibanding penutupan hari sebelumnya, yakni Rp 12.123 per dolar AS.
Wacana soal pengurangan stimulus AS sebenarnya telah mengemuka setelah Gubernur The Fed mengutarakan hal itu pada Mei 2013. Meski begitu, Federal Open Market Comitee (FOMC) Fed baru memberikan kepastian soal pengurangan stimulus dalam rapat yang digelar pada 17 dan 18 Desember 2013. Dalam pernyataan resminya, FOMC menjelaskan, keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan perbaikan tingkat pengangguran di Amerika Serikat.
Keputusan The Fed mengurangi stimulus mulai Januari sudah diprediksi Kementerian Keuangan. Prediksi tersebut disampaikan Menteri Keuangan Chatib Basri dalam rapat kerja dengan Komisi Keuangan, kemarin. Chatib menyampaikan dampak pengurangan stimulus The Fed terhadap Indonesia dapat dilihat dengan mengacu pada kondisi dunia sebelum ada kebijakan stimulus.
"Sejak 2009 sampai sekarang, kita berada dalam situasi pertumbuhan ekonomi dunia, didorong oleh quantitative easing. Dunia normal adalah dunia tanpa quantitative easing," kata Chatib dalam rapat kerja dengan Komisi Keuangan DPR, Rabu, 18 Desember 2013.
Ia menjelaskan, sebelum ada quantitative easing, rupiah berada di kisaran sekarang. "Kalau lihat dari tren ini, mungkin pola seperti ini akan terjadi," kata dia. Meski begitu, ia menjelaskan, salah satu penyebab depresiasi rupiah pada akhir tahun ini adalah karena adanya kebutuhan valas yang besar di bulan-bulan akhir.
MARTHA THERTINA