TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Intelejen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Yuli Kristiono, mengatakan wajib pajak kerap menggunakan modus faktur pajak fiktif untuk menghindari pembayaran pajak. Menurut dia, sekitar 80 persen kasus yang ditangani Direktorat Pajak bermodus faktur fiktif. "Modus ini merambah pada semua sektor, seperti perdagangan, manufaktur, dan bidang agro," kata Yuli dalam diskusi yang digelar di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jumat, 21 Juni 2013.
Dia mengatakan Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan pengawasan terkait praktik yang dilakukan wajib pajak tersebut. Namun, karena jumlah penyidik pajak terbatas, Yuli mengaku kesulitan untuk mengungkap semuanya. "Penyidik kami hanya 400 orang, sedangkan praktik faktur fiktif yang dilakukan wajib pajak sangat banyak," katanya. Yuli menjelaskan, dalam praktik tersebut, wajib pajak mendirikan perusahaan dan menerbitkan faktur pajak yang tidak didukung dengan transaksi uang dan barang.
Perusahaan yang didirikan, hanya untuk menjual faktur pajak. "Perusahaan mengurangi setoran PPN, dengan sengaja menambahkan atau membeli faktur pajak masukan dengan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya," kata Yuli. Selain faktur fiktif, modus lainnya yang ditemukan Direktorat Pajak adalah tidak melaporkan penjualan dalam SPT. Selama ini, hasil penjualan yang dilaporkan dalam SPT masuk ke rekening perusahaan.
Sedangkan penjualan yang tidak dilaporkan dalam SPT dimasukkan ke rekening pemegang saham atau keluarga. "Penerimaan penjualan yang tidak dilaporkan dalam SPT (atau karena tidak memungut PPN) yang masuk ke rekening perusahaan akan dicatat sebagai hutang pemegang saham," katanya.
Modus lain adalah tidak menyetorkan pajak yang dipotong atau dipungut bendaharawan pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Ps 21 atas pegawai negeri sipil. Juga ada modus rekayasa ekspor untuk mendapatkan restitusi PPN perusahaan eksportir dengan menambahkan ekspor fiktif atau ekspor dari pengusaha yang lain sebagai penjualan ekspor perusahaannya.
Berdasarkan data Direktorat Pajak, hingga 2012 ada 20 berkas yang sudah P-19 dan diserahkan ke Kejaksaan dengan nilai kerugian Rp1,540 triliun. Sedangkan berkas yang sudah P-21 ada 27 kasus dengan kerugian negara Rp144,7 triliun. Adapun berkas yang sudah divonis ada 26 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp1,55 triliun. Adapun denda pidana sebesar Rp3,27 triliun.
ANGGA SUKMA WIJAYA
Terhangat:
Evaluasi Jokowi | Kenaikan Harga BBM | Rusuh KJRI Jeddah
Berita lainnya:
Malam Ini Pengumuman Harga BBM Bersubsidi Naik
Pensil Bluetooth dan Gelang Komunikasi di SBMPTN
Soal Asap, Menkokesra: Singapura Jangan Mengeluh
Ada Soal Luthfi Hasan di Ujian, PKS Protes SMK