TEMPO.CO, Jakarta -Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini mengaku tak masalah dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Sebab, mekanisme pendanaan yang ada sudah dilakukan sejak PT Pertamina (Persero) mendapatkan retensi setara dua persen dari penerimaan migas untuk biaya pengelolaan.
"Sejak BP Migas lahir di tahun 2001 retensi diturunkan menjadi satu persen saja," kata Rudi saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 11 Juni 2013.
Kendati demikian, selama BP Migas bekerja, bahkan retensi dari penerimaan migas tidak sepenuhnya. "Yang terpakai seringnya hanya 0,6 sampai 0,8 persen," katanya.
Rudi menambahkan SKK Migas telah mengajukan dana kepada Kementerian Keuangan agar penganggarannya dibuat seperti kementerian dan lembaga lainnya. Ada pun untuk tahun ini, belum bisa dilakukan karena penganggaran sudah berjalan. Sementara untuk tahun ini tidak dapat dilakukan sebab penganggarannya telah berjalan.
Ia berpendapat, pada dasarnya pendanaan SKK Migas, baik dari dalam maupun dari luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak masalah. "Selama semuanya dapat dipertanggungjawabkan dan yang keluar uang bukan kertas," ujarnya berkelakar.
Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hasan Bisri mengatakan terdapat permasalahan dalam pemungutan pajak di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Hak negara yang tidak terpungut dari pajak SKK Migas pada 2010 sebesar Rp 4 triliun, Rp 3,05 triliun pada 2011, dan pada 2012 sebesar Rp 1,3 triliun.
BPK mendorong pemerintah agar memperbaiki sistem pendanaan SKK Migas yang selama ini dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN. Sejak bernama BP Migas hingga sekarang, pemerintah membiayai SKK Migas tanpa melalui APBN. "Jika tak melalui APBN berarti melangkahi parlemen," ucap Hasan.
AYU PRIMA SANDI | MUH. MUHYIDDIN