TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahyono menginginkan agar pemerintah menunda kewajiban pengurusan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Asmindo keberatan karena pengurusan izinnya memakan biaya Rp 60juta - Rp 70 juta per satu bulan.
"Dengan Eropa, ketentuan mencantumkan SVLK dalam ekspor mebel dan kerajinan disepakati berlaku mulai awal 2014. Kasihan pelaku ekpor yang masih di level UKM," ucap Ambar saat diskusi di Epiwalk pada Rabu, 8 Mei 2013. Sepanjang tahun ini, pelaku bisnis permebelan dapat melakukan ekspor ke berbagai tujuan tanpa sertifikasi.
Selain itu Asmindo juga merasa keberatan dengan adanya pajak penjualan atas barang mewah (PpnBM) yang diberlakukan atas ekspor mebel dan kerajinan. "Saya kira sudah tidak logis jika barang dengan harga di atas Rp 2 juta harus dikenai PPn BM sebesar 40 persen," ucap Ambar.
Yang terakhir sebagai hal memberatkan bagi Asmindo adalah keharusan dari Kementerian Pertanian melakukan karantina untuk produk ekspor. Kewajiban melakukan karantina itu tertuang dalam Peraturan Kementerian Pertanian nomor 73 tahun 2012. Isinya adalah keharusan bagi tiap perusahaan ekspor untuk menyediakan tempat bersih sebagai karantina. Kemudian akan ada petugas yang akan meneliti untuk dilaporkan hasilnya ke pusat. Biaya dari proses karantina ini dibebankan kepada eksportir.
Sepanjang 2012, total nilai ekspor produk furniture meningkat 0,84 persen dari tahun 2011 yakni sebesar US$ 1,76. Jumlah ekspor 2012 ini setara dengan total US$ 1,78 miliar. Data yang diterima dari Asmindo menyebutkan bahwa di awal bulan 2013, penjualan meningkat sebesar 3,99 persen dari periode yang sama di tahun 2012 yakni sebesar US$ 156 juta. Jumlah ini setara dengan US$ 162 juta. "Target Asmindo hingga akhir tahun 2013, ekspor kami akan meningkat sebesar 8 persen dibanding tahun sebelumnya," ucap Ambar.
MUHAMMAD MUHYIDDIN