TEMPO.CO, Surakarta - Sejak tahun 2000, Kementerian Lingkungan Hidup sudah menggulirkan sertifikasi ramah lingkungan untuk berbagai industri, termasuk tekstil. Namun, faktanya hingga kini belum ada satu pun industri tekstil yang mendapat predikat ramah lingkungan.
"Kami sudah gulirkan sejak lama, tapi hingga kini belum ada implementasinya," kata Kepala Bidang Teknologi Ramah Lingkungan Asisten Deputi Standardisasi dan Teknologi Kementerian Lingkungan Hidup, Arif Wibowo, di sela workshop industri tekstil dan eco labeling di Surakarta, Selasa, 26 Februari 2013.
Menurut Arif, yang menjadi kendala utama dalam hal ini adalah belum adanya komitmen dari pimpinan tertinggi di perusahaan. Jika sudah ada komitmen, maka perusahaan akan bergerak ke industri ramah lingkungan. "Kuncinya di top management," katanya.
Untuk industri tekstil yang membutuhkan sumber daya air dan energi luar biasa, ramah lingkungan bisa diartikan penghematan air dan energi. Kemudian melakukan daur ulang limbah yang dihasilkan dan mengurangi efek rumah kaca.
Humas Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan, mengatakan butuh investasi besar agar industri tekstil menjadi ramah lingkungan. "Tanpa subsidi, cukup berat bagi kami,' ujarnya. Apalagi industri selalu terkena dampak kenaikan tarif listrik dan bahan bakar minyak.
Liliek mengatakan, subsidi yang dimaksud seperti bantuan revitalisasi mesin-mesin tekstil terbaru yang lebih hemat energi dan hemat air. Kemudian, ada insentif pajak bagi industri yang memakai energi ramah lingkungan seperti yang diterapkan di Cina. "Kenyataannya, bantuan revitalisasi justru berkurang. Kalau tahun lalu tiap perusahaan bisa dapat Rp 5 miliar, tahun ini turun menjadi Rp 3 miliar," ucapnya.
Selain itu pengusaha tekstil meminta pemerintah serius membenahi infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan. Sebab, buruknya infrastruktur di Indonesia membuat ongkos produksi naik dan kesulitan bersaing di pasar internasional. Bahkan, dia bisa menerima jika pemerintah tidak memberi bantuan revitalisasi atau insentif pajak, asalkan infrastruktur diperbaiki. "Infrastruktur yang memadai akan sangat membantu pengusaha," ujar Liliek.
Liliek mengatakan industri tekstil Indonesia sebenarnya punya potensi berkembang pesat. Sebab, saat ini industri tekstil Indonesia baru menyuplai 8 persen dari total kebutuhan tekstil dunia. "Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia kedua di bawah Cina. Namun, Cina sedang melambat karena ada pencemaran luar biasa akibat industri," ujarnya.
Dia berharap industri tekstil di Indonesia dapat terus berkembang, tapi tanpa mencemari lingkungan seperti di Cina. "Kita harus unggul tapi tanpa mencemari lingkungan," katanya.
Arif mengklaim pemerintah sudah membantu pengusaha agar bisa menjadi ramah lingkungan. Ada insentif finansial dan non finansial. Insentif non finansial misalnya ada pembebasan pajak untuk impor teknologi ramah lingkungan. Sedangkan insentif finansial seperti ada pinjaman lunak bagi perusahaan.
Selain itu pengusaha bisa melakukan swadeklarasi, yaitu mendeklarasikan dirinya sendiri sudah bebas dari zat kimia berbahaya. "Secara teknis lebih mudah. Tentu akan ada verifikasi dengan indikator yang jelas," katanya.
UKKY PRIMARTANTYO
Berita Bisnis Terpopuler:
Daftar Kenekatan Agus Martowardojo
4 Alasan SBY Pilih Agus Marto Jadi Gubernur BI
Dahlan Ancam Pecat Dirut yang Minta Modal Negara
Cita-cita Menteri Agus Jika Menjadi Gubernur BI
DPR Nilai Dua Wakil Menkeu Bisa Gantikan Agus