TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyatakan, mata uang rupiah masih tertinggal dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN. Hal itu terlihat dengan masih adanya pecahan Rp 100.000, yang merupakan pecahan uang terbesar kedua setelah mata uang dong milik Vietnam.
"Rupiah kedua terendah setelah dong Vietnam dengan denominasi terbesar 500.000 VND," kata Darmin, pada saat acara kick off konsultasi publik "Redenominasi Rupiah", Rabu, 23 Januari 2013.
Untuk itu, kata dia, kebijakan redenominasi harus segera dilakukan untuk menyederhanakan digit rupiah guna meningkatkan daya saing terhadap mata uang asing. "Sektor keuangan dan rill akan semakin efisien dan pencatatan keuangan menjadi lebih sederhana dan biayanya murah.”
Berdasarkan catatan bank sentral, selama 2012 tercatat nominal transaksi melalui real-time gross settlement (RTGS) telah mencapai Rp 404 triliun per hari. Angka ini meningkat 187 persen dibandingkan 2009 sebesar Rp 141,9 triliun per hari.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mendukung rencana bank sentral melakukan redenominasi. Menurut dia, penyederhanaan nilai nominal mata uang sangat mendesak karena tuntutan perkembangan perekonomian nasional. "Jika diperbandingkan dengan nilai tukar, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah tidak mencerminkan kondisi fundamental ekonomi yang baik. Rupiah terlalu rendah dibandingkan negara-negara lain yang ukuran GDP-nya jauh lebih kecil dari Indonesia," ujarnya.
Berdasarkan indikator makro, terjadi peningkatan produk domestik bruto (PDB) dari Rp 3950,9 triliun pada 2007 menjadi Rp 8237,63 triliun pada 2012.
Agus mencontohkan nilai tukar per 21 Januari 2013, rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 9.788, Myanmar 3,05 MYR, Filipina (peso Filipina) 41,92 PHP, Singapura (dolar Singapura) sebesar 1,23 SGD, dan Thailand (baht) sebesar 30,52 THB.
Penyederhanaan mata uang sendiri sudah direncanakan sejak tahun lalu. Pemerintah bersama Bank Indonesia telah menyelesaikan draf Rancangan Undang-Undang Perubahan Harga Rupiah dan sudah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk masuk dalam program legislasi nasional.
ANGGA SUKMA WIJAYA