TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hendarman Supandji. menyatakan akses masyarakat untuk mendapat lahan sering kali terganjal karena beberapa hal. Akses lahan masih banyak dikuasai oleh korporasi, bahkan oleh kepala daerah.
"Ada kepala daerah yang punya tanah sampai 1 juta hektare. Tapi dipecah-pecah atas nama anak, istri, dan keluarganya," kata Hendarman saat memberi materi dalam seminar "Menjadikan Indonesia Sebagai Pemasok Pangan Tropis Dunia 2025", di kantor Lemhanas, Jakarta, Selasa, 4 Desember 2012.
Kasus tersebut jelas melanggar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Luas Batas Maksimum dan Minimum Pemilikan Tanah. Menurut Hendarman, kepemilikan tanah seperti itulah yang harusnya didistribusikan kepada masyarakat.
"Kami cari tanah untuk program land reform sulit sekali. Mengumpulkan tanah yang kelebihan maksimum juga sulitnya bukan main," Hendarman mengatakan.
Penyebab lain sulitnya masyarakat mendapat akses lahan, ia melanjutkan, adalah kepemilikan luas lahan oleh investor. Ini sering kali menyebabkan sengketa lahan antara investor dan masyarakat setempat.
Investor, kata dia, sering kali tidak mau melepaskan sebagian tanahnya untuk dikelola masyarakat sekitar dengan alasan memiliki legalitas hukum. Padahal, rakyat juga berhak mendapat akses tanah.
Selanjutnya, Hendarman juga menyebutkan, masih banyak tanah milik BUMN yang tidak digarap dengan maksimal. Namun, ia mengakui sulit mendistribusikan tanah milik BUMN kepada masyarakat karena sudah menjadi investaris kekayaan negara (IKN).
Menurut dia, kepemilikan tanah untuk pertanian maksimal 2 hektare untuk wilayah yang padat penduduk. Sedangkan bagi wilayah yang jarang penduduk, kepemilikan tanah untuk pertanian bisa mencapai 4-5 hektare.
"Tentunya kalau saya sampaikan ke penegak hukum bisa disita. Nanti pemilik tanah yang harus menjelaskan asal-usulnya," katanya.
ROSALINA