TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, mengkhawatirkan semakin banyaknya barang-barang produksi Cina menyerbu pasar Indonesia. Sofyan memprediksi akan ada fenomena deindustrialisasi karena pengusaha cenderung menjadi importir daripada menjalankan pabrik. Hal itu menyusul penetapan upah minimum kota/kabupaten yang memberatkan pengusaha, terutama sektor pertekstilan yang padat karya.
Saat ini, kata Sofyan, Cina sudah menjadikan Indonesia sebagai sasaran ekspor karena Amerika Serikat dan Eropa sedang mengalami perlambatan ekonomi. "Tanpa adanya kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pun, sekarang ini di Tanah Abang, 60-70 persen barangnya itu dari Cina," ujar Sofyan di sela-sela acara "Indonesia Services Dialogue: Public Forum on Competitive Services for Stronger Growth", Jumat, 30 November 2012.
Ia menjelaskan, kegiatan produksi Cina terus berjalan meski Amerika Serikat dan Eropa mengalami perlambatan ekonomi. Cina sejak beberapa tahun terakhir mengalami over production. Dengan demikian, saat ekspornya ke Amerika menurun, maka mereka mencari negara lain untuk melempar produknya. Indonesia akhirnya menjadi keranjang semua produk Cina, baik yang berkualitas baik maupun buruk.
Sofyan menyebutkan, barang-barang Cina murah karena merupakan produk cuci gudang. "Batik pun yang bukan printed, Cina sudah bisa bikin," katanya. Ia sudah melihat sekarang muncul kecenderungan para produsen di Indonesia yang akhirnya juga menjadi importir.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyampaikan hal serupa. Ia mengatakan, pasar di Amerika Serikat dan Eropa saat ini lemah sehingga Cina mencari pasar baru. "Indonesia dengan potensi konsumsi domestik yang besar akan menarik produsen dari Cina," ujarnya.
Untuk menjaga produk dalam negeri, Sofjan menilai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus bekerja lebih keras untuk menyaring banjir barang-barang impor. "Barrier pertama sebetulnya di Bea Cukai," ujarnya. Meski demikian, kata dia, sampai saat ini masih banyak barang impor ilegal yang masuk ke Indonesia.
MARIA YUNIAR