TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan kembali mendesak pemerintah untuk mengevaluasi bea keluar minyak sawit mentah (CPO).
Fadhil mengatakan tarif bea keluar progresif CPO, yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2008 tentang Penetapan Barang ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, tidak lagi relevan untuk menghadapi persaingan dengan Malaysia. Dalam peraturan itu, tarif bea keluar CPO terendah adalah 7,5 persen untuk harga referensi US$ 750-US$ 800 per metrik ton. Bea keluar akan dihapuskan bila harga CPO jatuh hingga di bawah US$ 750 Sedangkan harga tertinggi adalah 22,5 persen untuk harga referensi di atas US$ 1.250 metrik ton.
“Kalau tetap di level itu, tahun depan kita tidak akan bisa bersaing,” ujarnya melalui telepon, Kamis 29 November 2012.
Malaysia, sebagai sesama eksportir CPO terbesar di dunia, telah mengumumkan akan menurunkan bea keluar sebesar 4,5-8,5 persen mulai tahun depan. Sebelumnya, bea keluar CPO merata di angka 23 persen.
Saat ini, Kementerian Perdagangan menetapkan tarif Bea Keluar CPO untuk Desember mendatang sebesar 9 persen, dengan harga referensi sebesar US$ 825.34 per metrik ton.
Bea keluar tersebut tidak berubah dari bulan November ini. Sekadar informasi, tarif bea keluar yang berlaku dua bulan berturut-turut ini adalah yang terendah selama dua tahun terakhir. Sebelumnya, pada Oktober lalu, bea keluar CPO Indonesia mencapai 13,5 persen.
Tarif bea keluar dan masuk, serta aneka komponen dalam perdagangan CPO, termasuk proyeksi harga dan kebutuhan dunia, akan dibahas dalam konferensi internasional kelapa sawit di Bali. “Tadi sudah dibuka oleh Menteri Pertanian Suswono,” kata Fadhil.
Konferensi bertajuk Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2013 Price Outlook itu akan digelar hingga esok. Perhelatan yang digelar kedelapan kali itu, menurut Fadhil, dihadiri oleh sekitar seribu orang dari kalangan pengusaha, baik eksportir maupun importir CPO dari 36 negara.
PINGIT ARIA