TEMPO.CO, Tokyo - Pabrikan mobil asal Jepang, Toyota Motor Corp, Nissan Motor Co, dan Honda Motor Co, berencana memangkas produksi di Cina hingga 50 persen. Pemangkasan itu akibat sengketa perbatasan di antara kedua negara yang berdampak pada penurunan penjualan mobil Jepang di Cina.
Harian Jepang, Nikkei, melaporkan angka penjualan mobil Jepang di Cina anjlok sejak aksi protes anti-Jepang merebak pada pertengahan September lalu. Aksi itu juga memboikot semua produk Jepang yang dijual di penjuru Cina. Namun, harian Nikkei tidak menyebutkan berapa lama pemangkasan produksi akan berlangsung.
Seperti dilansir Reuters, 08 Oktober 2012, Nissan akan menunda operasi shift malam pada pabrik mobil berpenumpang di Cina, dan dioperasikan untuk shift pagi saja. Nissan memiliki dua pabrik mobil berpenumpang di Huadu dan Zhengzhou, Cina. Namun, juru bicara Nissan menolak berkomentar tentang hal ini.
Toyota dan Honda berencana memangkas 50 persen produksi di Cina dibandingkan dengan produksi normal. Pemangkasan dilakukan melalui pengurangan jam kerja dan menurunkan kecepatan lini produksi. Ketika dimintai konfirmasi, juru bicara Honda mengatakan akan mengecek kebenaran laporan ini.
Sementara itu, juru bicara Toyota belum memberi konfirmasi soal perincian laporan tersebut. Namun, manajemen Toyota mengatakan pabrik-pabrik di Cina telah dioperasikan kembali setelah sempat ditutup sementara akibat hari libur nasional di Cina pekan lalu. Penjualan Toyota di Cina anjlok 40 persen menjadi 50 ribu unit mobil pada September 2012 dibanding September 2011.
Juru bicara Suzuki Motor Corp mengatakan produksi pabrik di Cina telah kembali normal ke level sebelum masa liburan. Suzuki sebelumnya mengurangi jam produksi pabrik menjadi 1 shift dari 2 shift karena hari libur nasional.
Sentimen anti-Jepang di Cina bulan lalu semakin panas akibat sengketa kepemilikan pulau di Laut Cina Timur. Pulau yang oleh Jepang dinamai Senkaku dan oleh Cina disebut Diayou itu dikabarkan kaya akan cadangan gas alam. Pulau itu telah berada di bawah kendali Jepang sejak 1895.
REUTERS | ABDUL MALIK