TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mengungkapkan, penambahan lahan untuk pertanian menjadi sangat penting karena saat ini irigasi, baik irigasi teknis maupun non-teknis, sangat terbatas. "Butuh tambahan lahan minimal 1 juta hektare lebih karena peningkatan produktivitas tanaman padi kita sudah dilakukan dan maksimal," kata Direktur Budi Daya Serealia Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Rahman Pinem, dalam Seminar Nasional "Tanah untuk Rakyat" di Hotel Le Meridien, Rabu, 26 September 2012.
Ia mengungkapkan, saat ini, luas irigasi teknis maupun non-teknis hanya sekitar 7 juta hektare. Lahan ini terutama digunakan untuk menggenjot produksi padi hingga 70 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2014.
Karena itu, penambahan lahan untuk meningkatkan produksi pangan sangat penting agar cadangan pangan di dalam negeri bisa dipenuhi maksimal. Sebab, perbandingan cadangan pangan Indonesia terhadap jumlah penduduknya masih tergolong kecil, atau jauh di bawah Cina, India, dan Amerika Serikat.
Pemerintah mengakui isu strategis pangan di dalam negeri saat ini menjadi penting mengingat kebutuhan pangan meningkat dan terjadi perubahan iklim. Terlebih pada 2025 diperkirakan jumlah penduduk dunia meningkat menjadi 8 miliar orang dan berpotensi mengalami defisit pangan hingga 70 juta ton.
Rahman mengatakan, produksi pangan perlu dijaga ketat dengan kondisi agroklimat dan iklim yang sulit diprediksi. Negara yang sudah merasakan dampak langsung agroklimat terhadap lahan pertanian adalah Amerika Serikat, Cina, dan India.
Data Badan Pangan dan Agrikultur Dunia (FAO) mencatat perbandingan cadangan pangan ketiga negara itu masih di atas Indonesia. Amerika Serikat memiliki cadangan pangan 0,172 ton per orang, Cina berada di posisi kedua dengan cadangan pangan 0,133 ton per orang, dan India memiliki cadangan pangan 0,030 ton per orang.
"Perbandingan cadangan pangan kita terhadap jumlah penduduk masih rendah. Karena itu, pentingnya pangan menjadi perhatian besar bagi pemerintah," ujarnya.
Masalah lahan cukup pelik karena kebanyakan lahan dikuasai oleh sebagian pihak dengan jumlah luas. Akibatnya, tidak termanfaatkan secara maksimal. Bahkan, kepemilikan lahan oleh sebagian pihak ini membuat petani hanya memiliki lahan kecil, rata-rata 0,3-0,5 hektare.
"Karena itu, dalam Undang-Undang Pokok Agraria, pemerintah mencegah usaha agraria dimonopoli swasta. Untuk usaha tanaman pangan di Jawa, maksimal hanya 10 ribu hektare, tapi khusus Papua boleh 20 ribu hektare," katanya.
Ketua Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat, Romahurmuziy, mengatakan, ancaman produksi pangan terletak pada alih fungsi lahan pertanian untuk penggunaan lain, seperti infrastruktur atau permukiman. Jumlahnya cukup besar, mencapai 120 ribu hektare per tahun.
"Alih fungsi lahan ini jelas menghilangkan potensi produksi padi kita. Jika 1 hektare bisa menghasilkan 5 ton, potensi kehilangan produksi kita mencapai 500 ribu ton GKG per tahun," ujarnya.
Sektor pertanian Indonesia setidaknya membutuhkan lahan 35 juta hektare, yang terdiri atas lahan basah dan lahan kering. Namun, saat ini, kebutuhan lahan pertanian baru terpenuhi 14,2 juta hektare, termasuk sawah 7,8 juta hektare.
Seharusnya, dia menambahkan, petani diberikan kepemilikan lahan lebih besar untuk mendukung pencapaian swasembada beras. Pemerintah Indonesia perlu melihat contoh kepedulian pemerintah Amerika Serikat dalam hal produksi pangan.
Di Amerika Serikat, jumlah petani yang ada hanya 2,5 juta. Tiap petani memiliki lahan pertanian seluas 80 hektare. “Sedangkan kita (Indonesia), jumlah petani mencapai 25 juta orang, tapi kepemilikan lahan hanya 0,35 hektare per orangnya," kata Romahurmuziy.
ROSALINA
Terpopuler:
Boeing Siap Bantu Industri Pesawat Indonesia
Indonesia Diklaim Lebih Baik dari OECD dan BRICS
Bursa dan Bapepam Minta Penjelasan Bumi Resources
DPR:Produk Gadai Emas Bank Syariah Bermasalah
Perbankan Sambut Baik Keputusan MK Soal Piutang