TEMPO.CO, Jakarta - Rupiah mulai kekurangan tenaga di tengah minimnya sentimen positif dari pasar finansial global dan meningkatnya kebutuhan dolar Amerika Serikat dari dalam negeri.
Memburuknya data-data ekonomi dari AS, Eropa, Cina, dan Jepang yang diiringi dengan ekspektasi stimulus dari masing-masing bank sentral tidak mampu menguatkan rupiah. Sebaliknya, situasi itu justru semakin meneguhkan posisi dolar AS sebagai mata uang paling aman.
Pengamat pasar uang, Lindawati Susanto, mengatakan kondisi mata uang di pasar finansial saat ini masih sangat ditentukan oleh sentimen-sentimen. Beberapa waktu belakangan ini sentimen cenderung mengarah ke negatif sehingga membebani rupiah. “Tidak adanya langkah konkret dari aktor keuangan global terkait stimulus moneter semakin membuat rupiah seakan kehilangan tenaga di pasar uang.”
Masalah utang yang masih membelit negara-negara Uni Eropa, ditambah tidak adanya pelonggaran moneter dari Negeri Abang Sam, membuat pergerakan mata uang Eropa masih rentan, sehingga tidak bisa mengangkat mata uang berisiko termasuk rupiah.
Dari dalam negeri, antisipasi kebutuhan menjelang libur panjang serta defisit neraca perdagangan menyebabkan likuiditas di pasar domestik semakin menipis. Karena itu, Bank Indonesia mencoba mengatasinya dengan menghimpun dana melalui kebijakan kenaikan suku bunga Fasilitas Diskonto (FasBI) menjadi 4 persen.
“Selain dimaksudkan untuk menghadapi kekeringan likuiditas, kebijakan itu juga untuk mengantisipasi kemungkinan semakin melemahnya rupiah di pasar uang,” kata Linda.
M. AZHAR (PDAT)