TEMPO.CO, Jakarta -Dari 452 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, setidaknya lebih dari 100 saham emiten tidak aktif diperdagangkan atau saham tidur. Direktur Utama BEI, Ito Warsito, mengatakan banyak alasan yang membuat saham suatu emiten tidak lagi diminati. Namun mayoritas pergerakan saham perusahaan itu terkena dampak dari fundamental perusahaan.
"Saat krisis ekonomi 1997 dan 2008, banyak emiten yang floating shares-nya kurang karena itu. Perusahaan pun mengeluarkan right issue," ujar Ito di kantornya, Jakarta, Selasa 24 Juli 2012.
Menurutnya, banyak right issue dibeli oleh saham pengendali. Akibatnya, saham yang beredar di publik menjadi berkurang. Pergerakan saham emiten pun menjadi buruk.
Untuk itu, otoritas bursa sudah berusaha mengumpulkan emiten-emiten yang dianggap saham tidur itu. Di antaranya dengan melakukan program penulisan business report dan pelatihan untuk mengaktifkan saham kembali. "Bisa pula dengan menambah saham di publik dan perusahaan harus memikirkan kembali aksi korporasi selanjutnya," ujar dia.
Fenomena saham tidur itu, menurut Ito, tidak hanya terjadi di pasar modal Indonesia, tapi juga di setiap bursa efek di seluruh dunia. Namun Ito berharap saham-saham emiten Indonesia dapat seluruhnya aktif diperdagangkan. Namun ia enggan menyebutkan target untuk perubahan saham tidur menjadi aktif kembali. "Ini jangka panjang. Kami tidak bisa hanya menargetkan 1-2 tahun, tapi membutuhkan waktu yang cukup lama," ujarnya.
Ito mengakui kondisi saham tidur saat ini lebih baik jika dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Pihaknya akan terus berusaha mendorong emiten melakukan kegiatan yang dapat memicu pergerakan sahamnya.
SUTJI DECILYA