TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyoroti suku bunga deposito perbankan nasional yang masih di atas inflasi. Fenomena tersebut dinilai langka. "Memang kita ini pengecualian di Asia Tenggara. Di dunia barangkali. Di Asia Tenggara, semua bunga deposito itu selalu lebih rendah dari inflasi," ujar Darmin di Bank Indonesia, Jumat, 17 Februari 2012.
Darmin menjelaskan, di Filipina, dengan inflasi 5,5 persen, suku bunga deposito berada di kisaran 3,5-4 persen. Sementara itu, di Malaysia dan Thailand, dengan inflasi 4-4,5 persen, suku bunga deposito di antara 2,5-3 persen. Tapi di Indonesia selalu diinginkan bunga deposito harus lebih tinggi dari inflasi. ”Padahal itu yang punya uang ongkang-ongkang kaki, tidak ada risikonya itu," ujar Darmin.
Darmin mengungkapkan, jika orang kaya ingin mendapatkan bunga yang lebih tinggi, seharusnya mereka menaruh di instrumen investasi. "Banyak instrumen lain yang memberikan imbal hasil tinggi. Kalau mau dapat tinggi, ya taruhlah di instrumen investasi. Memang ada risikonya, lebih tinggi," katanya.
Darmin menyoroti tingginya suku bunga deposito lantaran hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan suku bunga dasar kredit masih tinggi. "Jika bunga deposito turun, sudah pasti bunga kredit turun," katanya.
Bank Indonesia terus mengupayakan agar besaran suku bunga deposito perbankan nasional sejalan dengan suku bunga deposito negara kawasan yang berada di bawah inflasi. Meski begitu, Darmin mengungkapkan, untuk menurunkan suku bunga deposito, membutuhkan proses panjang.
Suku bunga penjaminan simpanan LPS, misalnya, tidak bisa langsung turun mengikuti bunga pasar, yakni suku bunga simpanan Fasbi, 3,75 persen. “Kami perlu meyakinkan LPS, meyakinkan Kemenkeu, meyakinkan pasar, mari kita pelan-pelan menuju itu, supaya ekonomi kita lebih efisien, supaya tingkat bunga UKM kita kalau mau minjam jangan terlalu mahal," ucap Darmin.
Melihat rasio kredit dibandingkan GDP perbankan nasional, menurut Darmin, juga terlalu kecil. "Di Indonesia cuma sekitar 30 hingga 35 persen, tapi di negara lain mencapai 100 persen," ujarnya. "Bagaimana mau bersaing? Bagaimana mau maju?" Tapi ia yakin semuanya bisa diubah asal terjadi kesepahaman yang sama antara pemerintah dan pengusaha.
MARTHA THERTINA