TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), Hatta Sinatra, mengatakan pihaknya siap menyerap rotan mentah. “Kami sih sudah siap, tapi rotannya yang belum tersedia, ” kata Hatta, Senin, 9 Januari 2012.
Ia menepis kekhawatiran tidak terserapnya rotan mentah di Indonesia akibat larangan ekspor yang diberlakukan pemerintah per 1 Januari 2012. Selama ini beredar isu-isu yang menurutnya menyesatkan. “Misalnya persediaan yang menumpuk akibat larangan ekspor,” katanya.
Ia menjelaskan, itu sebenarnya hanyalah isu yang disebarkan pedagang yang tidak setuju dengan kebijakan pelarangan ekspor ini. “Saya sudah cek di Kalimantan. Nggak ada tuh barang yang menumpuk,” ucapnya.
Berbeda dengan AMKRI, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia, Lisman Sumardjan, khawatir rotan banyak tidak terserap di Indonesia. “Pasar di Indonesia kecil,” katanya.
Selama ini, menurut Lisman, pasar Indonesia hanya menggunakan tiga jenis rotan, yaitu Tohiti, Lambang, dan Batang. Di luar itu, orang Indonesia tidak mau memakai karena lebih sulit diolah. “Karakter orang Indonesia itu maunya yang gampang-gampang saja. Kalau di Cina, jenis rotan apa pun akan diolah,” katanya.
Ia menyebutkan, data yang diterima dari kementerian perhutanan adalah bahwa produksi rotan mentah Indonesia per tahun mencapai 247 ribu ton. Sedangkan, ia membandingkan, selama ini penggunaan dalam negeri hanya 15 ribu ton per tahun yang kesemuanya dari tiga jenis rotan tersebut.
“Ke mana sisanya akan dipasarkan? Apakah pemerintah bisa memberikan solusi mengenai ini? Karena ini yang paling penting,” katanya. Pemerintah perlu memberi solusi yang konkret.
Ia menginformasikan, saat ini rotan sulit ditemui. Hari ini, menurut pengakuannya, kawannya yang berada di Palu memberi tahu bahwa di kota itu tidak ditemukan rotan.
“Ini karena sekarang petani malas mencari rotan,” katanya. Sebab, penghasilan petani berkurang semenjak larangan ekspor diberlakukan.
Sebelumnya, Lisman menggambarkan, petani bisa menjual semua jenis rotan yang didapat, sekitar 9 sampai 10 jenis, totalnya bisa mencapai 700 kilogram per minggu. Hasil penjualan itu bisa mencapai Rp 900 ribu rupiah sampai Rp 1 juta.
Ketika ekspor dilarang, rotan yang laku dari mereka hanya tiga jenis tadi, dengan total hanya 150 kilogram per minggu sehingga mereka hanya mendapatkan 150-250 ribu per minggu. “Akibatnya, petani tidak lagi mau mencari rotan dan bahkan beralih profesi ke pertambangan,” katanya.
GADI MAKITAN