TEMPO.CO, Makassar - Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) Sulawesi Selatan mengeluhkan regulasi pengiriman rotan antarpulau yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 tahun 2011. Ketua APRI Sulawesi Selatan Julius Hoesan menuturkan adanya peraturan tersebut menghambat perkembangan industri rotan di daerah.
“Dalam regulasi tersebut Kementerian Perdagangan mempersulit proses pengiriman rotan antarpulau,” kata Julius, Senin 2 Januari 2011. Peraturan Kementerian Perdagangan tersebut mengatur mengenai tata cara pengiriman rotan antarpulau. Salah satu isinya adalah kewajiban melengkapi pengiriman rotan dengan dokumen dan harus atas pengawasan pihak terkait yang ditetapkan Kementerian Perdagangan.
Peraturan ini dikeluarkan untuk mencegah terjadinya penyelundupan rotan ke luar negeri setelah larangan ekspor diberlakukan. Padahal menurut Julius pelaku pengiriman adalah petani kecil yang tidak memiliki kelompok dan tidak memiliki badan hukum, sehingga persyaratan tersebut dinilai sangat memberatkan.
“Regulasi pengiriman antarpulau tak ada bedanya dengan regulasi ekspor,” ucap Julius.
Akibat aturan itu proses pemeriksaan dan verifikasi menjadi lama. Rotan mentah dari hutan yang belum mengalami proses pengolahan sangat gampang rusak. Jika menunggu proses verifikasi, rotan dikhawatirkan rusak sebelum tiba di tujuan.
Sistem ini, kata Julius, yang dirasakan petani pengumpul rotan di Kolaka, Sulawesi Tenggara, yang hendak mengirimkan rotan ke Makassar. Proses verifikasi tak hanya dilakukan di pelabuhan daerah asal barang, tapi juga di daerah tujuan, sehingga prosesnya menjadi semakin panjang. Kondisi ini, Julius menjelaskan, membuat rotan semakin sulit didapatkan.
“Petani tidak mau lagi mengambil rotan di hutan akibat regulasi ini,” kata Julius. Industri pengolahan rotan setengah jadi pun terpaksa tutup akibat sulitnya memproleh bahan baku.
Sekretaris Umum Asosiasi Mebel Rotan Indonesia (Asmindo) Sulawesi Selatan H.M. Mansyur menuturkan tiga unit industri pengolahan rotan setengah jadi di Sulawesi Selatan saat ini semuanya sudah tidak beroperasi. “Di antaranya ada yang pindah ke Jawa,” kata Mansyur.
Padahal industri pengolahan itu, menurut Mansyur, menyerap tenaga kerja kurang dari 3.000 orang. Jumlah tersebut terdiri dari petani, pengumpul, tenaga pengangkut, dan tenaga pengolah. Jika dilihat dari potensi, Sulawesi Selatan terdapat 24 jenis rotan, tapi hanya empat jenis yang mampu diserap industri lokal. Produksi yang tak terserap inilah yang selama ini dipasarkan ke luar negeri.
Sementara itu dari segi potensi tebang lestari, menurut Mansyur, terdapat 110 ribu ton dan yang dimanfaatkan industri hanya 150 ribu dari produksi nasional.
ANISWATI SYAHRIR