TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
Dalam peraturan tersebut dijelaskan lima faktor penyebab emisi gas rumah kaca. Antara lain kebakaran hutan yang menyumbang hinnga 0,672 gigaton CO2e, sampah sebesar 0,048 gigaton CO2e, energi dan transportasi sebesar 0,038 gigaton CO2e, agriculture sebesar 0,008 gigaton CO2e, dan industri yang menyumbang 0,001 gigaton CO2e.
"Pepres ini akan mengatur siapa, kapan, dan bagaimana setiap pihak yang terkait untuk menurunkan emisi hingga 26 persen," Rachmat saat ditemui Tempo, Senin 26 September 2011 di Jakarta. Ia juga menyatakan, pada saat ini total emisi gas rumah kaca Indonesia mencapai 2,1 gigaton carbon dioksida ekuivalen (CO2e)
Transportasi menjadi salah satu faktor terbesar penyumbang emisi gas rumah kaca yang harus dikurangi dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). "Transportasi dan energi menempati urutan ketiga," kata dia.
Menanggapi tingginya sumbangan transportasi, Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto menyatakan, 60 hingga 70 persen sumbangan gas emisi GRK berasal dari kota. "Harus fokus dengan langsung menembak sumber terbesar yaitu kota," kata Djoko. Ia juga menyatakan, hal ini dapat dilakukan dengan mencapai delapan kriteria kota hijau, salah satunya dengan penyediaan ruang terbuka hijau.
Rencana Aksi Nasional GRK ini, menurut Rachmat, adalah meratifikasi Protokol Kyoto untuk berkomitmen mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida. "Setiap negara sedapat atau semampunya diharapkan menurunkan emisi," katanya.
Khusus daerah Ibu Kota, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Wibowo juga menyatakan, lalu lintas atau transportasi menjadi penyumbang besar gas emisi. "Langkah yang dapat dilakukan adalah penggunaan bahan bakar rendah karbon seperti gas, atau nol karbon seperti listrik," katanya.
Pelaksanaannya sendiri, menurut Fauzi, tidaklah mudah. "pemindahan menjadi gas dan listrik butuh biaya distribusi yang besar, selain itu persediaannya juga masih terbatas saat ini," katanya.
Kementerian Perhubungan sendiri menyatakan program pengurangan emisi sebenarnya sudah dilakukan. "Mengubah pengguna Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk beralih ke Bahan Bakar Gas (BBG)," kata Kepala Humas Kementrian Perhubungan, Bambang S Ervan. Namun ia juga menyatakan, ada kendala dalam pelaksanaannya yaitu kurangnya Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas (SPBG). Di Jakarta sendiri, menurut Bambang, jumlah SPBG hanya sekitar enam tempat saja.
Kementerian Perhubungan, menurut Bambang, selalu berupaya mengurangi emisi karbon khususnya melalui Program Langit Biru. "Kita mengkonversi berbagai bahan bakar ramah lingkungan dan menerapkan tempat emisi buang atau uji emisi," katanya.
Perpres Nomor 61 Tahun 2011 ini, menurut Rachmat, dalam penerapannya akan melaksanakan RAN-GRK di bidang Pertanian, Kehutanan dan lahan Gambut, Energi dan Transportasi, Industri dan Pengelolaan limbah. Pelaksanaan dan pemantauan aksi nasional GRK ini akan dikoordinasikan Kementrian Perekonomian. "Pengurangan hingga 26 persen hingga tahun 2015 bukanlah usaha membangun citra diri, tetapi untuk menyelamatkan manusia," katanya.
FRANSISCO ROSARIANS