TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Keuangan Agus Martowardojo bergeming ketika didesak untuk merevisi peraturan Menteri Keuangan No.128/PMK011/2011 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan Bea Keluar (BK) dan tarif BK. "Pemerintah harus jaga fiskal, perusahaan tidak bisa dapat semuanya. Nanti kalau mereka dapat semua, negara dapat apa?" katanya, Rabu, 7 September 2011.
Pernyataan tersebut menanggapi permintaan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) untuk merevisi beleid yang juga mengatur tentang bea keluar kelapa sawit. Aturan yang diumumkan pada 15 Agustus lalu itu merupakan perubahan dari aturan sebelumnya.
Direktur Eksekutif Gapki, Fadhil Hasan, menilai peraturan terbaru itu tidak adil dan tidak proporsional. Pasalnya, dalam beleid itu mengatur batas minimum pengenaan bea keluar lebih tinggi US$ 750 per ton ketimbang sebelumnya US$ 700.
Demikian juga batas atas bea keluar yang diturunkan menjadi 22,5 persen dari sebelumnya 25 persen pada tingkat harga US$ 1.250 per ton. "Pernyataan bahwa bea keluar lebih rendah itu menyesatkan,” katanya Selasa lalu.
Lebih jauh Menteri Agus menilai perusahaan seharusnya lebih fokus mengembangkan produk hilir yang memberikan nilai tambah bagi ekonomi dan tenaga kerja dalam negeri, terlebih negara tetangga sudah tidak lagi mengekspor bahan baku. "Jangan lihat jangka pendek,” ucapnya.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Benny Wahyudi juga memastikan aturan tersebut sudah final dan tidak mungkin direvisi. Penetapan bea keluar CPO justru dinilai berhasil karena mendongkrak harga CPO di pasar internasional.
India, salah satu negara tujuan ekspor sawit Indonesia juga mengurangi bea masuknya. Saat ini bea masuk CPO di India turun menjadi 20 persen dari sebelumnya 45 persen pada tahun 2007. "Artinya uang untuk bea masuk ke India, sekarang beralih dan masuk ke Indonesia (melalui bea keluar)," ucapnya.
Sementara itu, pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar mengatakan aturan baru tidak lantas mendorong pelaku industri tidak akan langsung mengembangkan produk-produk turunan kelapa sawit. Sebab, infrastruktur di Indonesia masih buruk.
Kenaikan tarif yang mestinya ditanggung pengusaha malah kemudian dibebankan ke petani sawit. "Bea keluar ujung-ujungnya dibebankan oleh petani. Yang paling lemah menjadi penerima beban dari penerapan bea keluar tersebut.”
ALWAN RIDHA RAMDANI | AGUNG SEDAYU | ROSALINA