TEMPO Interaktif, Jakarta - Merosotnya daya serap bahan baku rotan dan pengalihan penggunaan bahan baku ke rotan sintetis oleh industri mebel dalam negeri telah membuat nilai ekonomis komoditas rotan rendah.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) Julius Hoesan mengatakan tata niaga ekspor juga telah menghancurkan para petani, pekerja, dan pengusaha rotan, khususnya yang berada di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
"Regulasi yang pertama kali ditetapkan sejak 1986 sampai dengan sekarang bertujuan untuk menghambat ekspor rotan guna memproteksi industri hilir yang berpusat di Jawa," kata Julius dalam keterangan tertulisnya, Senin 8 Agusutus 2001.
Saat ini tata niaga rotan diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/8/2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Masa berlaku ketentuan tersebut akan berakhir Agustus ini.
Menurut dia, tata niaga ekspor justru mendorong dunia menciptakan rotan imitasi sebagai pengganti rotan asli dan berdampak menghantam serta menghancurkan nilai ekonomis komoditas rotan alam.
“Pemerintah boleh memberi proteksi kepada industri hilir agar bisa bertumbuh. Namun bentuk proteksi tersebut jangan balik menghancurkan nilai ekonomis komoditas rotan asli Indonesia serta jangan menghancurkan kehidupan masyarakat di hulu,” ujarnya.
Dia meminta pemerintah membebaskan ekspor rotan olahan apabila tidak dipergunakan di dalam negeri. Ekspor rotan olahan itu juga penting untuk kelangsungan petani rotan tanaman rakyat yang sejak dulu dikerjakan rakyat Kalimantan secara turun-temurun. “Agar bermanfaat bagi masyarakat dunia, terutama bagi masyarakat penghasil rotan,” kata Julius.
Disebutkannya sekitar 85 persen populasi rotan dunia berada di Indonesia. Potensi produksi lestari rotan Indonesia sendiri mencapai 247 ribu ton per tahun. Sedangkan pemakaian industri mebel dalam negeri saat ini tidak mencapai 20 ribu ton per tahun. Berarti, terjadi kelebihan potensi sangat besar yang bisa bermanfaat bagi negara ataupun masyarakat di daerah penghasil rotan.
Dari sekitar 350 spesies rotan yang tumbuh di Indonesia, kata dia, hanya 6-7 spesies yang dimanfaatkan oleh industri mebel rotan yang berpusat di Pulau Jawa. Itu pun tidak semua ukuran diameter dari 6-7 spesies itu bisa terserap.
“Apakah pemerintah mau membiarkan nilai ekonomis komoditas kebanggaan Indonesia ini hilang oleh gempuran rotan plastik yang tumbuh pesat di dunia ini?” ujarnya bertanya.
Julius menuding banyak oknum yang selalu membuat opini di media seolah-olah yang diekspor selama ini adalah rotan mentah yang tidak bernilai tambah, dengan tujuan membiarkan kehancuran rotan alam. Padahal rotan yang diekspor selama ini adalah rotan olahan setengah jadi dengan tingkat perolehan nilai tambah ekonomis ataupun nilai tambah sosial di daerah penghasil rotan.
“Lagipula yang terbanyak diekspor selama ini adalah jenis dan ukuran yang tidak terserap oleh industri mebel dalam negeri,” ujarnya lagi.
ROSALINA