TEMPO Interaktif, Jakarta - Ekspor kaca lembaran Indonesia ke Australia terancam terhambat. Pasalnya, industri kaca di Negeri Kanguru itu sudah mengajukan peninjauan kembali atas penghentian tuduhan dumping terhadap produk kaca Indonesia.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Ernawati mengatakan saat ini pengajuan peninjauan kembali sudah disampaikan kepada lembaga Trade Measures Review Officer (TMRO). "Hasil review akan diumumkan pada pekan kedua Agustus," kata Erna, Senin, 1 Agustus 2011.
Tahun lalu otoritas antidumping Australia resmi menyelidiki dugaan dumping pada kaca (certain clear float) asal Indonesia, Cina, dan Thailand. Hasil verifikasi sementara menemukan adanya margin dumping kaca asal perusahaan Indonesia sebesar 3,3-30,3 persen.
Namun akhirnya bea cukai Australia yang berwenang atas putusan dumping menghentikan penyelidikan antidumping atas produk kaca dari ketiga negara yang diduga dumping. Pasalnya, otoritas itu tidak menemukan kerugian (injury) industri, sehingga tidak cukup alasan untuk melanjutkan penyelidikan dumping terhadap produk kaca Indonesia.
Chief of Safety Glass Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan pengusaha sudah mengetahui tentang rencana peninjauan kembali tuduhan dumping tersebut. "Kami tahu dari pedagang di Australia," kata dia.
Informasi yang diterima pengusaha baru berupa peninjauan kembali diajukan pada sebulan setelah pengumuman penghentian penyelidikan dumping atau pada Januari 2011.
Lebih lanjut Yustinus mengatakan tuduhan dumping seperti ini benar-benar menghambat ekspor ke Australia. Menurut dia, meski ekspor kaca ke Australia masih sekitar 2-3 persen dari keseluruhan ekspor, namun potensi pertumbuhannya cukup besar.
Berdasarkan data Comtrade, ekspor produk kaca Indonesia ke Australia pada 2008 sebesar US$ 10,6 juta. Produk ekspor asal Indonesia menguasai 27,4 persen pasar Australia. Disusul ekspor kaca asal Cina yang menguasai 24 persen pasar. Sementara kaca Thailand yang mengambil porsi 16 persen dari pasar.
Tahun 2009 nilai ekspor kaca Indonesia ke Australia turun jadi US$ 6,1 juta. Saat itu produk Indonesia hanya menguasai 21 persen pasar. Sementara Cina berbalik menjadi penguasa pasar kaca nomor satu di Australia dengan mengambil porsi 24 persen. Sementara Thailand tetap di posisi ketiga dengan hanya menguasai 15 persen pasar.
"Jika tanpa hambatan dan ada keringanan bea masuk dari penerapan perjanjian AANZFTA (ASEAN, Australia, New Zealand Free Trade Agreement), pertumbuhan ekspor ke Australia bisa 10 persen setahun," kata ujarnya.
Bila dibandingkan dengan pesaing asal Cina dan Thailand, eksportir Indonesia punya hubungan perdagangan yang lebih lama dan lebih baik dengan importir Australia. "Selain itu, kami diuntungkan dengan jarak yang lebih dekat. Ini penting karena produk kaca yang besar dan berat sehingga biaya pengirimannya besar," kata Yustinus.
EKA UTAMI APRILIA