TEMPO Interaktif, Jakarta - Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia, Lisman Sumardjani, meminta pemerintah mengkampanyekan penggunaan rotan asli di hotel-hotel, bandara, restoran, dan perkantoran Indonesia. "Untuk meningkatkan konsumsi rotan dalam negeri," ujarnya, Minggu 17 Juli 2011.
Lisman menyayangkan sikap pemerintah yang abai terhadap semakin berkembangnya rotan plastik di Tanah Air dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. "Di Cirebon telah berdiri pabrik rotan plastik terbesar di dunia," ucapnya. Saat ini 80 persen kebutuhan furnitur nasional didominasi rotan plastik.
Dijelaskan Lisman, rotan imitasi diminati karena dianggap cocok untuk dekorasi eksterior. "Padahal, pakai rotan asli jenis rotan WS (washed and sulfurized) bisa," ucapnya. "Apalagi rotan plastik merusak lingkungan," kata dia.
Menurutnya, selain melalui kampanye pemakaian rotan asli, pemerintah harus mengatasi masalah rotan plastik dengan mengenakan pajak lingkungan kepada produsen rotan plastik itu. "Pajak lingkungan bisa dipakai untuk membina petani rotan," tutur Lisman.
Ia menyatakan, akibat rotan plastik, permintaan rotan asli di dalam negeri terus menurun. Tahun ini permintaan hanya 12 ribu ton, merosot dari tahun 2010 sebesar 30 ribu ton, 2009 sejumlah 40 ribu ton. Harga rotan di tingkat petani pun jadi anjlok. "Sekarang hanya Rp 1.500 per kilogram. Padahal idealnya Rp 3.000 sampai Rp 4.500 per kilogram," ucap Lisman.
Pihak APRI sudah menyurati Kementerian Perdagangan mengenai hal ini. Namun, Lisman mengatakan, belum ada respons dari pemerintah.
Sebelumnya, kualitas rotan Indonesia terkenal yang terbaik di dunia. "Sebesar 85 persen rotan dunia berasal dari Indonesia. Masa kita biarkan dikalahkan rotan plastik," kata Lisman. Karena pasar ekspor tidak dipelihara, pasar luar negeri kini semakin tidak mengenal rotan. Padahal, ada tujuan ekspor potensial seperti Cina dan Eropa.
ATMI PERTIWI