TEMPO Interaktif, Jakarta - PT Aneka Tambang (Persero) Tbk mengembangkan lima proyek pengolahan hasil tambang. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang itu mengamanatkan dilakukannya hilirisasi atau pengembangan industri pengolahan.
Seperti diketahui, Undang-Undang Minerba diundangkan pada 2009 dan akan diberlakukan pada 2014. Dengan adanya beleid ini, maka kegiatan pengolahan dan pemurnian pertambangan wajib dilakukan di dalam negeri. Dengan pengolahan dan pemurnian dilakukan di dalam negeri, maka bahan tambang yang diekspor memiliki nilai tambah.
Presiden Direktur Antam Alwin Syah Loebis berharap penerapan tersebut akan meningkatkan nilai tambah bagi perusahaan dan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. “Dengan proyek ini, kami harap bisa memberikan nilai tambah terhadap cadangan kita yang ada di seluruh Indonesia,” ujarnya saat rapat dengan Komisi Energi DPR, di Jakarta, Senin, 27 Juni 2011.
Alwin menyatakan bahwa proyek pertama adalah proyek chemical grade alumina (CGA) Tayan, Kalimantan Barat, ini rencananya akan berproduksi dengan kapasitas 300 ribu ton. “Kami harap Januari 2014 bisa beroperasi komersial,” kata dia. Pabrik yang nilai investasinya mencapai US$ 450 juta ini pembangunannya sudah dimulai. Sebagian dana berasal dari pinjaman JBIC, Mizuho, dan STB senilai US$ 290 juta. “Biaya sisanya kerja sama G to G dengan Jepang,” kata dia. Rinciannya adalah Indonesia 80 persen dan Jepang 20 persen.
Kedua, proyek feronikel Halmahera yang bernilai sekitar US$ 1,6 miliar, termasuk dengan power plant. Proyek ini berkapasitas produksi sebesar 27 ribu ton nikel feronikel. Listrik yang akan kita konsumsi mencapai 260 mW. “Kami sudah tanda tangan kerja sama dengan PLN karena mereka yang akan suplai listrik, nilainya sekitar US$ 600 juta. Rencananya, akhir tahun ini bisa mulai pembangunan konstruksi," ujarnya.
Proyek berikutnya adalah modernisasi dan optimasi untuk peningkatan efisiensi pabrik feronikel di Pomala, Sulawesi Tenggara. Proyek ini guna memperbaiki dan meningkatkan efisiensi dari pabrik feronikel. “Biayanya sekitar US$ 450 juta,” kata Alwin.
Keempat adalah proyek nikel big iron di Sulawesi Tenggara dan nilainya sekitar US$ 400 juta. Terakhir, adalah proyek smelter grade alumina di Kalimantan Barat senilai US$ 1 miliar. Proyek ini akan mulai dibangun pada 2012.
Anggota Komisi Energi, Satya W. Yudha, menyatakan akan mendukung rencana pembangunan pabrik pengolahan ini. Namun, seiring dengan pemberlakukan UU Minerba, Menteri Perindustrian telah mengeluarkan Peraturan Menteri. Dia berharap jangan sampai pemberlakukan Permen itu dijadikan pengalihan agar pengusaha tambang memilih membayar pajak daripada membangun smelter atau pengolahan di dalam negeri. “Kelak yang ekspor bahan tambang mentah (raw material) akan kena bea keluar dan penalti,” kata dia.
M. NUR ROCHMI