TEMPO Interaktif, Jakarta - PT International Nickel Indonesia Tbk (INCO) meraih laba bersih Rp 962,34 atau US$ 111,9 juta pada kuartal pertama tahun ini. Laba bersih ini meningkat 47 persen dibanding laba bersih periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 655,32 miliar atau US$ 76,2 juta.
Direktur Keuangan INCO Fabio Bechara mengatakan peningkatan laba bersih didorong oleh kenaikan harga nikel dari US$ 18.011 per metrik ton pada akhir tahun lalu menjadi US$ 20.246 kuartal pertama tahun ini.
Meski laba bersih naik, Fabio menambahkan, laba penjualan justru turun. “Penurunan disebabkan oleh pengiriman nikel yang melorot,” katanya melalui siaran pers, Sabtu 7 Mei 2011.
Kuartal pertama tahun ini perseroan meraih laba penjualan Rp 2,773 triliun atau US$ 322,4 juta. Jumlah ini turun dibanding kuartal akhir tahun lalu yang mencapai Rp 2,831 triliun atau US$ 329,2 juta. Adapun pengiriman nikel melorot dari 18.280 menjadi 15.924 metrik ton.
Fabio mengatakan penurunan juga terjadi pada produksi nikel sebesar 8 persen, yaitu dari 17.996 metrik tok menjadi 16.501 metrik. Penurunan ini dinilai lantaran gempa bumi di Sorowako 15 Februari lalu serta badai. Akibat amuk alam ini jalur listrik dan beberapa fasilitas tidak berfungi. “Akibatnya produksi terganggu,” ujarnya.
Untuk mengurangi persoalan suplai dan efisiensi energi perseroan memacu pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga air Karebbe. “Proyek ini telah berjalan 87 persen pada kuartal pertama,” katanya. Ia berharap pada kuartal kedua sumber listrik ini bisa dimanfaatkan untuk produksi INCO di Sorowako. “Kami harap bisa mengurangi biaya pemakaian energi,” ujarnya.
Agar pembangunan pembangkit listrik berjalan lancar perseroan melakukan penarikan kedua sebesar Rp 1,29 triliun atau US$ 150 juta dari Senior Export Facility Agreeement (SEFA). Penarikan ini lantaran perseroan telah menghabiskan dana pinjaman Rp 2,38 triliun atau US$ 300 juta yang diperoleh dari Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd. dan Mizuho Corporate Bank, Ltd.yang didukung Nippon Export and Investment Insurance.
Menurut Fabio, harga pokok penjualan nikel kuartal pertama tahun ini meningkat tujuh persen dibanding kuartal akhir tahun lalu. “Kenaikan disebabkan oleh peningkatan biaya solar, biaya karyawan, serta jasa dan kontrak akibat gempa bumi,” katanya. Namun, kenaikan ini diimbangi penurunan biaya
HSFO (minyak bakar bersulfur tinggi).
Fabio juga mengungkapkan perseroan membutuhkan modal (capital expenditure) Rp 1,9952 triliun atau US$ 232 juta untuk pengeluaran barang modal tahun ini. Target produksi perseroan mencapai 90 ribu metrik ton. Selama lima tahun ini rata-rata produksi mencapai 73 ribu metrik ton.
AKBAR TRIKURNIAWAN