TEMPO Interaktif, Jakarta - Tak selayaknya Indonesia memiliki rasa ketakutan luar biasa atas adanya perjanjian China Asean Free Trade Area (CAFTA). Ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, meyakinkan banyak peluang bisa dimanfaatkan dari perjanjian dagang ini.
Faisal Basri beralasan, Negeri Tirai Bambu itu merupakan negara dengan jumlah penduduk mencapai 1 miliar, terpadat di dunia. “Banyak peluang yang bisa kita peroleh dari CAFTA,” kata Faisal Basri hari ini Sabtu (23/4) di Jakarta.
Apalagi banyak produk unggulan yang semestinya tidak bisa disaingi oleh China. Misalnya, produk pertanian. China yang merupakan daerah empat musim tidak mungkin bisa menyaingi cabe petani Indonesia. China juga tidak memiliki produksi karet.
Usul renegosiasi CAFTA seperti yang diusulkan oleh Kamar Dagang dan Industru menurut Faisal tak selayaknya dilakukan. Negara-negara lain yang juga turut menandatangani CAFTA tak mengeluh seperti Indonesia. Kalaupun sekarang banyak industri mengeluh karena produknya kalah dengan China. “Berarti ada yang salah dengan Indonesia sendiri,” kata Faisal.
Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Perdagangan dan Industri, Edy Putra Irawady, mengatakan bahwa saat ini pemerintah sudah memutuskan untuk tidak melakukan renegosiasi CAFTA. "Itu akan terlalu lama, apalagi CAFTA juga melibatkan anggota ASEAN lain," katanya.
Jadi, pemerintah memilih melakukan opsi pembicaraan bilateral antara Indonesia-China. "Itu sudah mulai dilakukan, pertama pada Desember tahun lalu di Bali dan nanti akan kita lakukan pertemuan lanjutan," katanya.