TEMPO Interaktif, Bandung - Puluhan sepatu anak berbagai model dengan warna cerah terpajang di salah satu toko sepatu di Jalan Cibaduyut Raya, Bandung, Jawa Barat. Harga sepasang dibanderol Rp 30 ribu. Sepintas sepatu-sepatu itu tak beda jauh dengan buatan sentra di Cibaduyut. Yang membedakan hanya labelnya: "Made in China."
Tak hanya sepatu anak yang marak dijajakan di kawasan itu. Sepatu impor berbahan kulit imitasi juga dijual. Harganya Rp 50-70 ribu per pasang. Bandingkan dengan harga sepatu kulit buatan lokal yang dijual rata-rata Rp 200 ribu.
Pada 1980-an, Cibaduyut dikenal sebagai pusat industri sepatu. Produk sepatu asal daerah itu terkenal ke seantero negeri, bahkan sampai mancanegara. Tapi kini puluhan produsen sepatu di Cibaduyut tak mampu lagi menahan gempuran sepatu impor asal Cina.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat menyebutkan, jumlah industri kecil sepatu di Cibaduyut terus berkurang. Pada 2008, sebanyak 867 unit usaha masih bertahan. Jumlah ini kemudian menyusut menjadi 844 unit pada 2009. "Angka ini bakal terus menurun," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Ferry Sofwan Arif.
Bahkan, menurut data Koperasi Bina Usaha Angkatan Muda Indonesia Bersatu Jawa Barat, kapasitas industri rumahan Cibaduyut merosot 60 persen pada tahun lalu. Kini industri rumahan hanya menghasilkan sekitar 300 pasang sepatu per pekan.
Produsen sepatu konstruksi merek Inkra Batant Stride, Gun Gun Runiadi, mengungkapkan, mahalnya produk sepatu Cibaduyut dibanding sepatu buatan Cina disebabkan oleh mahalnya bahan baku. Selain itu, tingkat margin sebesar 30 persen yang dipatok pedagang menyebabkan harga sepatu kian melambung.
Industri tekstil dan garmen di Majalaya, Jawa Barat, juga mengalami hal yang sama. Membanjirnya tekstil dan produk tekstil asal Cina menyebabkan jumlah pesanan menurun drastis. Pemilik CV Sandang Makmur Lestari, Deden Sawega, menyatakan pesanan ke perusahaan anjlok. "Toko di Tanah Abang menunda pemesanan," ujarnya.
Merosotnya produksi industri nasional akibat gempuran produk Cina diakui Direktur Jenderal Kerja Sama Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahjana. Menurut dia, daya saing industri nasional kalah oleh Cina. Penyebabnya, industri dalam negeri kekurangan pasokan komponen dan energi. Kondisi ini ditambah dengan sulitnya mendapatkan modal usaha.
Selama tahun lalu, impor produk industri dari Cina mencapai 18,5 persen dari total impor. Jumlah ini naik 33 persen dibanding tahun sebelumnya. Sebaliknya, ekspor Indonesia ke Cina hanya 8,21 persen dibanding total ekspor (lihat tabel).
Pemerintah mensinyalir murahnya barang buatan Cina karena praktek perdagangan tidak adil. Dari 190 jenis barang impor Cina, 38 jenis dijual lebih murah di Indonesia dibanding di Cina. Atas temuan ini, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat akan membahas dalam pertemuan bilateral dengan Cina. Dia menolak desakan pembahasan negosiasi ulang kesepakatan. Alasannya, "Renegosiasi terlalu lama."
R.R. ARIYANI | AGUNG SEDAYU | ANGGA SUKMA WIJAYA