TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah minta tiga importir film asing yaitu PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film membayar separuh dari total tunggakan pajak dan denda bea masuk film impor senilai Rp 310 miliar jika mengajukan banding. “Harus membayar 50 persen dulu,” kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta pekan lalu.
Pernyataan ini merupakan penegasan tagihan yang dikirim Direktorat Jenderal Pajak pada 12 Januari lalu atas kurang bayar bea royalti Rp 31 miliar selama dua tahun. Ditambah denda sepuluh kali lipat, total yang harus dibayar Rp 310 miliar. Banding karena keberatan bisa dilakukan jika tiga perusahaan ini sudah membayar Rp 155 miliar.
Polemik pajak bea masuk ini berawal dari surat edaran Menteri Keuangan pada Januari lalu yang menerapkan tarif bea masuk film impor 23,75 persen dan royalti US$ 43 sen per rol film yang diedarkan. Pada saat bersama pemerintah menekan pajak produksi film nasional dari 10 persen menjadi 0 persen. Tapi, aturan ini dinilai memberatkan importir film.
Menteri Agus mengatakan menghargai upaya banding yang diajukan importir karena sudah sesuai prosedur. Tapi, dia minta ketentuan sebelum pengajuan banding harus dipenuhi lebih dulu. “Apalagi sudah dikeluarkan ketetapan pajak untuk membayar,” katanya.
Menurut Direktur Jenderal Bea dan Cukai Thomas Sugijata, proses banding itu masih berada di Pengadilan Pajak. Dari tiga perusahaan yang didenda, Thomas menyatakan tidak mengetahui apakah ketiganya sudah membayar setengah dari tunggakan yang harus dibayar.
Berdasarkan hasil audit tahun lalu, importir film hanya membayar bea masuk berdasarkan harga cetak salinan film. Sedangkan bea masuk atas dasar hak royalti dan bagi hasil belum dibayar. Akibatnya timbul kurang bayar bea masuk atas hak royalti dan bagi hasil sejak 1995.
Besar tarif yang diberlakukan dalam penagihan bea masuk, baik atas harga cetak salinan film, hak royalti, maupun bagi hasil mencapai 10 persen. Adapun tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 impor sebesar 2,5 persen.
Menyikapi banding tiga importir film ini, Ketua Gabungan Pengusuha Bioskop Seluruh (GPBSI) Noorca M. Massardi menyatakan belum mendapat informasi apapun tentang tentang rencana banding. “Saya belum dapat kabar apa-apa,” katanya. Sedangkan TR Anitio, perwakilan manajemen PT Camila Internusa Film tidak mengangkat panggilan telepon Tempo untuk dimintai konfirmasi.
Seorang pengusaha film menyatakan ada perbedaan tafsir antara pengusaha dan pemerintah tentang artikel VII General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Versi pemerintah nilai royalti harus ditambahkan ke dalam nilai pabean copy film. Film mengandung hak atas kekayaan intelektual sehingga bea masuk tidak cuma memakai patokan metrik rata-rata per film USD 0,43/meter.
Sedangkan versi pengusaha, bea masuk hanya dikenakan pada barang yang berwujud, bukan atas hak intangible goods. Karena itu bea masuk hanya dapat dikenakan atas nilai copy film. Sedangkan royalti film dikenakan pajak royalti. Jika setelah royalti film masih dikenai lagi bea masuk, akan terjadi pengutan berganda.
Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, putusan besaran pajak bea masuk film impor akan diumumkan akhir bulan ini bersama perayaan Hari Film Nasional. Pembahasan masalah ini masih dilakukan Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Perekonomian.
| Iqbal muhatraom | Febriana firdaus