"Kalau moratorium berarti kita dianggap tidak bisa membayar, kredibilitas kita diragukan, kreditur akan mempertanyakan," kata Anggito di sela sela sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi di Bandung, Jawa Barat, kemarin.
Sekretaris Jenderal ISEI ini mengatakan karena kredibilitasnya turun akhirnya biaya bunga utang menjadi lebih mahal. “Keadaan normal kita tidak mau bayar artinya ngemplang," katanya.
Berbeda halnya kalau mengajukan konversi utang (debt swap). Menurut Anggito hal itu lebih mungkin dilakukan tentunya dengan tetap mempertimbangkan program apa yang ditawarkan kreditur. Misalnya, pada program lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. "Dept Swap ok, tapi tergantung apa yang di-swap,” kata dia.
Itu pun, kata Anggito, tak semua negara bisa melakukan konversi utang karena undang-undang mereka tak mengaturnya. Negara yang memungkinkan mememberikan debt swap antara lain, Australia, Jerman, Francis dan Inggris. Tapi utang ke negara-negara tersebut terbilang kecil, tidak signifikan.
Anggito lebih menyarankan pemerintah mencari utang baru yang lebih murah dengan bunga murah dan return yang tinggi dan bisa menggunakan pola binis to bisnis.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah menghindari utang luar negeri baru. Pemerintah akan mengutamakan konversi utang luar negeri dalam bentuk belanja program kesehatan, lingkungan dan pendidikan.
ALWAN RIDHA RAMDANI