Ketua Gaprindo, Muhaimin Moeftie, mengatakan kenaikan tarif cukai rokok putih per batang di kisaran 6,9 persen hingga 31,3 persen terlalu tinggi. Apalagi jika dibandingkan dengan kenaikan tarif cukai rokok kretek per batang yang hanya naik 6,9 persen hingga 14,8 persen. "Ini bisa mengurangi daya saing kami," kata Moeftie di Jakarta, Kamis (19/11).
Meski demikian, dia mengaku tak bisa berbuat apa-apa atas keputusan pemerintah. "Apa boleh buat. Sekarang tinggal tunggu dampaknya pada strategi masing-masing produsen," ucapnya. Dari perhitungan Gaprindo, kenaikan tarif cukai yang masih bisa ditolerir seharusnya sebesar inflasi tahunan, atau jika tahun ini maka tak lebih dari 4,5 persen.
Adapun Peraturan Menteri Keuangan tentang Cukai Hasil Tembakau yang baru menunjukkan, tarif cukai sigaret putih mesin Golongan 1, atau produksi lebih dari 2 miliar batang setahun, dengan harga eceran lebih dari Rp 600 per batang naik Rp 20 dari Rp 290 menjadi Rp 310 per batang, atau naik 6,9 persen.
Cukai sigaret putih mesin Golongan 1 dengan harga eceran Rp 450-600 naik Rp 45 dari Rp 230 menjadi 275 per batang atau naik 19,6 persen. Cukai sigaret putih mesin Golongan 1 dengan harga eceran Rp 375-450 naik Rp 40 dari Rp 185 menjadi Rp 225 per batang atau naik 21,6 persen.
Cukai sigaret putih mesin golongan 2 atau produksi kurang dari 2 miliar batang setahun rata-rata naik hampir Rp 30 atau naik di kisaran 17-31 persen. Adapun tarif cukai sigaret kretek mesin, baik di golongan 1 dan 2, hanya naik Rp 20 per batang atau di kisaran 6,9-14,8 persen dibandingkan tarif sebelumnya.
Moeftie mengakui niat pemerintah untuk menjalankan peta jalan industri rokok 2007 yang mengarahkan pengembangan industri rokok melalui penyederhanaan jenis dan tarif. Namun, dia menilai tarif yang baru cenderung tak adil bagi produsen kretek putih.
Apalagi produk rokok putih selama ini jarang diecer melainkan sebungkus penuh. Isi setiap bungkusnya juga lebih banyak karena biasa dijual 20 batang per bungkus ketimbang kretek yang bervariasi antara 12 dan 16 batang per bungkus. "Artinya cukai per bungkus rokok putih lebih mahal juga," ujarnya.
Dengan kondisi itu produsen rokok putih yang kini hanya menguasai 7 persen pasar rokok dalam negeri akan semakin terjepit. Pengusaha akan dihadapkan pada dilema apakah cukai yang lebih tinggi akan ditanggung perusahaan, berbagi beban separuhnya dengan konsumen, atau dibebankan seluruhnya pada harga jual. "Jika harga jual dinaikkan perokok bisa berhenti merokok seperti tujuan kesehatan, tapi bisa juga berganti rokok," kata Moeftie.
Tahun lalu, produksi rokok nasional mencapai 235 miliar batang. Produksinya diperkirakan meningkat menjadi 240 miliar batang pada 2009 dengan perkiraan kontribusi penerimaan sebesar lebih dari Rp 60 triliun dari pembayaran cukai dan pajak penjualan. Industri rokok putih diperkirakan ikut menyumbang 7 persen atau sekitar Rp 4,2 triliun di dalamnya.
Moeftie mengakui industri rokok putih di Indonesia tak terlalu besar. Jumlah pekerjanya pun tak terlalu banyak, atau tak sampai puluhan ribu pekerja, karena lebih banyak menggunakan mesin. Tapi, industri ini juga terkait langsung dengan sektor hilir, mulai dari petani tembakau, industri pengemasan, hingga penjual eceran. "Kalau dihitung bisa sampai 6 juta kepala keluarga, artinya bisa 18 juta jiwa," katanya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Anggito Abimanyu, menegaskan, peraturan cukai yang baru telah mempertimbangkan peta jalan industri rokok. Besaran tarifnya pun disesuaikan untuk merealisasikan target penerimaan cukai tahun depan sebesar Rp 54 triliun. Dia menilai kenaikan tarifnya pun tak terlalu mahal. "Masa 20 perak batang mahal sih," katanya.
AGOENG WIJAYA