TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menanggapi janji Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan ingin mencapai swasembada pangan dalam waktu lima tahun. Menurut dia, pidato itu merupakan ajakan kepada semua elemen untuk terlibat mewujudkan ketahanan pangan.
Namun, Khudori mengatakan target Prabowo itu belum sepenuhnya jelas. Ia mengatakan, Presiden Prabowo perlu menjelaskan lebih jauh swasembada pangan jenis apa yang diharapkan dan selanjutnya membuat perencanaan yang matang. “Karena pangan itu sangat luas,” ucap lulusan Fakultas Pertanian Universitas Jember itu kepada Tempo, Rabu, 23 Rabu 2024.
Khudori menjelaskan, pengertian pangan berbeda dengan komoditas. Selama ini, dari presiden ke presiden, swasembada merujuk kepada komoditas tertentu. Ia mencontohkan, pemerintahan Joko Widodo pada 2014-2024 menargetkan swasembada beras, jagung, kedelai, gula, bawang putih, hingga daging sapi.
Saat menjabat presiden 2004–2014, menurut Khudori, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun menargetkan swasembada komoditas. “Saya enggak tahu apakah Pak Presiden Prabowo, pangan itu nanti oleh kementerian teknis akan diterjemahkan dalam bentuk swasembada komoditas,” ucap Khudori.
Tak hanya komoditas, Khudori mengatakan swasembada pangan dapat diukur berdasarkan pemenuhan gizi, misalnya swasembada karbohidrat dan protein. Karbohidrat dapat diperoleh dari komoditas seperti jagung, kedelai, padi, sorghum, sukun, sagu, singkong. Sedangkan protein dapat diperoleh dari ikan, telur, ayam, daging sapi, daging domba, hingga daging kambing.
“Mencapai swasembada komoditas itu pasti enggak mudah,” ucap penulis buku Bulog dan Politik Perberasan itu.
Dihitung dari kebutuhan kalori dan protein, Khudori mengatakan ketersediaan pangan di Indonesia saat ini justru telah melimpah. Pasokan ini berasal dari produk dalam negeri maupun impor.
Pasokan sumber kalori dan protein itu disumbang oleh berbagai komoditas yang impornya dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan untuk komoditas terigu, bawang putih, dan gula, Khudori mengatakan Indonesia impornya juara satu di dunia.
Namun, ketersediaan yang melimpah itu tidak terbagi secara merata kepada semua masyarakat yang membutuhkan, karena kendala akses baik fisik maupun ekonomi. “Kalau pun tersedia, enggak punya duit, enggak punya daya beli,” ujar Khudori.
Pilihan Editor: Prabowo Janji Hilangkan Kemiskinan, Ekonom: Jangan Mengandalkan Bansos