TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2025 mendapat sorotan dari pemerhati kesehatan masyarakat.
"Cukai ini instrumen paling efektif untuk membuat rokok tidak terjangkau, terutama untuk kelompok rentan,” kata Belqdenta Amalia, Project Lead of Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) seperti dikutip Koran Tempo, Kamis, 26 September 2024.
Kementerian Kesehatan dalam laporan di Global Adult Tobacco Survey 2021 mencatat jumlah perokok dewasa naik 8,8 juta dalam periode 2011-2021, dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta orang. Dalam Survei Kesehatan Indonesia 2023, pemerintah menyatakan jumlah perokok bertambah menjadi 70 juta orang.
Baca juga:
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengingatkan risiko kenaikan ongkos kesehatan sebagai buntut penundaan kenaikan cukai hasil tembakau.
"Dengan tidak naiknya cukai rokok tahun depan, upaya menurunkan permintaan rokok dan perokok menjadi terhambat,” katanya.
Artinya angka kasus penyakit katastrofik akibat rokok seperti serangan jantung dan stroke berpotensi makin bertambah.
Timboel mengatakan, ongkos kesehatan bakal naik lebih cepat. “Karena 90 persen masyarakat kita sudah menggunakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), biaya pelayanan JKN akan makin meningkat lagi, khsusnya penyakit akibat rokok.”
Sebelumnya, Kementerian Keuangan memastikan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) belum akan diterapkan pada tahun 2025.
“Sampai dengan penutupan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang minggu lalu ditetapkan DPR, posisi pemerintah untuk kebijakan CHT pada 2025 belum akan dilaksanakan,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2024 di Jakarta, Senin, 23 September 2024.
Menurut dia, pemerintah masih akan melihat alternatif kebijakan lainnya dengan melakukan penyesuaian harga di level industri.
Sejumlah evaluasi juga akan dilakukan, termasuk perbedaan rokok golongan I, II dan III yang relatif tinggi dan menimbulkan adanya downtrading.
“Basis arah CHT 2025 akan ditinjau kembali oleh pemerintah untuk bisa dipastikan kebijakan yang akan ditetapkan,” katanya.
Adapun realisasi penerimaan cukai tercatat sebesar Rp138,4 triliun per 31 Agustus 2024, tumbuh 5,0 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Pertumbuhan penerimaan cukai didorong oleh kenaikan produksi golongan II dan III yang mendorong kenaikan CHT sebesar 4,7 persen yoy menjadi Rp132,8 triliun.
Sementara penerimaan cukai minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) tercatat sebesar Rp5,4 triliun atau tumbuh 11,9 persen (yoy) didorong kenaikan tarif dan produksi MMEA dalam negeri.
Sedangkan cukai Etil Alkohol (EA) tercatat sebesar Rp93,6 miliar, atau tumbuh 21,8 persen sejalan dengan kenaikan produksi.
Dengan kinerja itu, penerimaan cukai turut mendongkrak realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai yang secara kumulatif tercatat sebesar Rp183,2 triliun, atau tumbuh sebesar 6,8 persen yoy.
Penerimaan Bea Masuk tercatat sebesar Rp33,9 triliun atau tumbuh 3,1 persen yoy akibat kenaikan nilai impor dan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.
Di sisi lain, penerimaan Bea Keluar terealisasi sebesar Rp10,9 triliun atau tumbuh 59,3 persen yoy, yang dipengaruhi oleh pertumbuhan Bea Keluar tembaga sebesar 567,8 persen yoy dengan share sebesar 77,1 persen.
Sementara Bea Keluar produk sawit turun 57,3 persen yoy akibat penurunan rata-rata harga crude palm oil (CPO) 2024 dan penurunan volume ekspor produk sawit.
"Karena memang mungkin sosialisasi masih belum banyak, maka dengan adanya kegiatan ini bisa menyampaikan informasi kepada masyarakat bahwa ada Program Rehab untuk mencicil tunggakannya," kata dia.
Pilihan Editor Viral Pernyataan Sri Mulyani Soal Kenaikan Tukin 300 Persen Diklarifikasi Stafsus, Ini Besarannya