TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kajian Ekonomi Hijau dan Perubahan Iklim Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah mengatakan pemerintah harus mencegah potensi greenflation di sektor ekspor minyak jelantah. Greenflation merupakan inflasi yang disebabkan oleh kebijakan dalam industri hijau atau ramah lingkungan. Alin mengatakan di Eropa dan Amerika, minyak jelantah dijadikan bahan baku biofuel untuk mencapai transisi energi.
Alin mengatakan permintaan minyak jelantah di Indonesia cukup tinggi, sehingga perlu adanya ketetapan harga maksimum. Menurut dia penetapan harga tertinggi minyak jelantah sudah selayaknya diimplementasikan. Sebab dari nilai ekspornya, minyak jelantah sudah bisa dikategorikan sebagai komoditi.
Traction Energy Asia mencatat pada 2023 indonesia mengekspor 173 kiloton jelantah ke Eropa. Jika dikonversikan jumlah itu setara dengan 173 juta kilogram. Adapun harga tertinggi minyak jelantah pada 2022 mencapai Rp 30 juta per ton.
Untuk menetapkan harga tertinggi minyak jelantah, Alin mengatakan harus ada regulasi yang menetapkan minyak jelantah merupakan komoditi terlebih dahulu. Lagi pula, Alin melihat belum ada regulasi yang menyatakan minyak jelantah sebagai limbah secara jelas.
“Minyak jelantah sudah bisa dikatakan sebagai komoditi. Sekarang banyak sekali peminatnya untuk diekspor, padahal kita juga butuh. Kita ingin menghindari yang namanya greenfaltion karena itu perlu dikelola harganya,” kata Alin dalam acara desiminasi naskah akademik tata kelola dan tata niaga minyak jelantah di Jakarta, Senin, 5 Agustus 2024.
Bila sudah ditetapkan sebagai komoditi, pemerintah bisa menerapkan tarif ekspor terhadap minyak jelantah. Menurut dia langkah tersebut lebih efektif dibanding melarang ekspor minyak jelantah. “Risikonya lebih rendah termasuk menghindari biaya kita untuk menghadapi hukum perdagangan internasional,” ujarnya.
Berdasarkan riset Traction Energy Asia, kebanyakan penduduk Indonesia masih melihat minyak jelantah sebagai limbah. 75 persen masyarakat juga membuang minyak jelantah langsung ke selokan setelah digunakan.
Melihat kondisi tersebut, Direktur Center for Environmental Law and Climate Justice Fakultas Hukum UI, Andri G. Wibisana, menyebut belum ada aturan yang secara tegas menetapkan minyak jelantah sebagai limbah di rezim hukum manapun. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, minyak jelantah tidak masuk dalam kategori limbah.
Andri menyebut dalam regulasi itu diatur ihwal limbah nirtitik, seperti limbah rumah tangga, air limpasan dan air limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga seperti air mandi cuci dan kakus.
Kalaupun minyak jelantah dikategorikan sebagai limbah titik, Andri mengatakan pemerintah berkewajiban menyesuaikan dengan baku mutu air limbah dan pengelolaan limbah tersebut. “Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, minyak jelantah juga dikecualikan untuk kategori limbah khusus,” katanya.
Andri menjelaskan peraturan pemerintah tersebut juga memberi ruang pengaturan limbah non B3 sebagai sumber energi, sebagaimana diatur dalam Pasal 459 ayat (3) huruf (b). “Namun penerapannya membutuhkan aturan lebih lanjut tentang ruang pengaturan ini,” katanya.
Dia menambahkan, pemerintah bisa mengatur pengelolaan minyak jelantah melalui Peraturan Pemerintah atau Kepres. Aturan ini nantinya akan menjangkau pengaturan minyak jelantah sebagai salah satu limbah yang belum diatur dan menjadi acuan pemanfaatannya sebagai sumber energi terbarukan. “Pemerintah perlu mengatur ini secara rinci, mulai dari pengelolaan, penampungan, pengangkutan sampai kepada tahap pemanfaatan minyak jelantah tersebut,” kata dia.
Pilihan editor: Bea Cukai Buka Data Muatan 26.415 Kontainer yang Dituding Jadi Penyebab Banjir Impor