David mencontohkan negara Argentina atau negara-negara Amerika Latin yang tak bisa beranjak dari middle income trap. Berbeda dengan Korea, Taiwan, Jepang, dan Cina yang sudah maju alias terlepas dari perangkap itu.
Di sisi lain, kata David, ada persoalan yang akan muncul setelah perekonomian Indonesia tumbuh di atas 5 persen. Jika tumbuh melampaui 5 persen, maka ekonomi mulai memanas atau overheating. "Memanasnya ditandai dengan inflasinya mulai naik, itu pertama. Kedua, defisit transaksi berjalan membengkak, ujung-ujungnya juga rupiah goyang. Memang ini kaitannya erat sekali dengan struktur ekonomi," tutur dia.
Hingga saat ini, David menyebut, belum ada ekspor andalan Indonesia yang benar-benar bersaing di pasar dunia. Indonesia kini masih bergantung pada komoditas. Berdasarkan analisisnya, secara historis ekonomi RI bisa tumbuh di atas 5 persen hanya ketika periode harga komoditas relatif tinggi. Jika harga komoditas mulai turun, maka semua sektor juga langsung ikut turun.
"Saya pernah menghitung, 32 persen dari revenue (pendapatan) perusahaan-perusahaan di Indonesia itu bisa dijelaskan dari naik-turunnya harga komoditas. Kalau CPO (minyak kelapa sawit), batu bara, mineral, wajar di atas 65 persen pendapatannya bisa dijelaskan dari naik atau turunnya komoditas. Jasa dan properti juga bisa dijelaskan, tapi hanya sekitaran 30 persen," ujarnya.
Persoalannya, kata David, karena sampai sekarang Indonesia belum bisa lepas dari komoditas. Artinya, model ekonomi negara masih sangat ditentukan oleh gerak-gerik komoditas.
"Beda kalau misalnya di pasar global Indonesia jualan barang lain yang kompetitif. Tapi kalau komoditas, itu (harganya) naik turun. Kalau hanya ekspor yang mentah, nilai tambahnya juga kecil sekali buat ekonomi," kata David.
Pilihan Editor: Garuda Indonesia Tawarkan Diskon Tiket Pesawat 80 Persen, Dibuka 22 hingga 31 Juli