TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kesehatan dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan penyesuaian iuran untuk Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan perlu memperhatikan kondisi peserta dari kelas mandiri. Sebab, menurutnya, tahun ini masih ada tantangan ekonomi lantaran masih terjadi ketidakpastian ekonomi global.
"Penyesuaian iuran harus dilihat dari ability dan willingnes to pay (kemampuan dan kemauan membayar) BPJS Kesehatan," kata Hermawan acara diskusi 'BPJS Kesehatan dengan KRIS, Permudah Layanan atau Jadi Beban?' di DPR RI, Selasa, 21 2024. "Harus dilihat dari apsek bukan untuk kebutuuhan kesehatan, tapi dari sisi ekonomi masyarakat yang membayar mandiri."
Sementara untuk masyarakat peserta BPJS Kesehatan dari golongan penerima bantuan iuran (PBI), menurut Hermawan, tidak akan jadi masalah. Justru, kata dia, sistem KRIS akan membuat mereka merasakan manfaat lebih. "Karena yang selama ini PBI akan mendapat peningkatan pelayanan, kualitas fasilitasnya distandarkan," katanya.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sebagai gantinya, pemerintah memberlakukan KRIS. Dalam beleid itu disebutkan, KRIS harus mulai berlaku tahun 2025.
Ihwal iuran, Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah sebelumnya juga
mengatakan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan harus mempertimbangkan kondisi dan kemampuan finansial masyarakat. Karena itu, menurutnya, perumusan besaran iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) perlu melibatkan partisipasi masyarakat melalui diskusi publik.
"Pada prinsipnya, apapun kebijakan yang nanti diterapkan, harus ada kepastian bahwa peserta JKN terlayani dengan baik dan memperoleh informasi sejelas-jelasnya," kata Rizzky melalui aplikasi perpesanan kepada Tempo, Selasa, 14 Mei 2024.
Selanjutnya: Sementara KRIS BPJS belum diberlakukan, BPJS Kesehatan masih menerapkan....