Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Departemen Perdagangan Deddy Saleh mengatakan, saat ini merupakan kondisi yang mendesak karena meskipun Indonesia produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) nomor satu di dunia, namun Indonesia belum menjadi negara acuan harga komoditas tersebut.
"Dilihat dari bursa berjangka yang ada, transaksinya sangat kecil. Ini belum cukup hingga kita lihat bagaimana cara mengembangkannya," katanya, menjelaskan usai serah terima izin usaha bursa berjangka baru di Graha Niaga, Jakarta, Selasa (7/7).
Dengan adanya dua bursa berjangka, diharapkan persaingan yang baik terwujud hingga kedua bursa tersebut terpacu menciptakan harga referensi, baik untuk pasar domestik maupun luar negeri. "Indikator keberhasilan bursa berjangka dapat dilihat bagaimana harga yang tertera bisa menjadi acuan semua pihak. Ini tantangannya," ujar Deddy.
Perkembangan bursa berjangka komoditi di Indonesia serupa dengan negara lain. Deddy mencontohkan, Cina sempat memiliki 50 bursa berjangka yang tersebar di seluruh provinsi, namun saat ini terdapat tiga bursa yang beroperasi secara aktif.
Sementara India juga memiliki tiga bursa berjangka dan puluhan bursa yang bersifat lokal. "Pemerintah tidak bisa melarang adanya pembentukan bursa baru selagi memenui persyaratan," katanya.
VENNIE MELYANI