TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono buka suara perihal janji Capres Prabowo Subianto melambungkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen. Bagi Yusuf, janji tersebut bukan terdengar seperti visi, melainkan mimpi. "Menurut saya, lebih merupakan mimpi, daripada visi," katanya kepada Tempo, dikutip Jumat, 2 Februari 2024.
Terlebih, dengan cara melanjutkan fondasi Presiden Jokowi sebagai pijakan. Yusuf menilai bahwa dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, target pertumbuhan 6 persen saja sudah merupakan target optimistis. Sementara target 7 perlu perubahan dan strategi besar yang baru. Kemudian jika pasang target 8 persen, perlu strategi besar baru plus usaha ekstra untuk mencapainya.
"Jika menjanjikan pertumbuhan 8 persen hanya bermodal melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya, menurut saya itu target yang sangat tidak realistis. Terlebih lagi menjanjikan pertumbuhan double digit," tutur dia.
Yusuf tak menampik bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti di atas 5 persen memang krusial bagi Indonesia untuk jadi negara maju. Dengan demikian, wajar jika para Capres menetapkan target yang tinggi untuk pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, kata Yusuf, perlu strategi baru untuk menembus angka pertumbuhan yang tidak lepas dari 5 persen di era Presiden Jokowi.
Dia menilai Indonesia perlu narasi dan gagasan besar yang baru untuk naik kelas menjadi negara maju pada 2045. Strategi besar pembangunan era Presiden Jokowi saat ini seperti pembangunan infrastruktur dan hilirisasi tambang, kata Yusuf terbukti gagal. Gagal dalam mentransformasi perekonomian dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir ini.
Selama 10 tahun memimpin, Yusuf mengatakan Presiden Jokowi hanya mampu mencapai pertumbuhan 4,2 persen. Jika dikecualikan tahun pandemi, maka angka pertumbuhan hanya 5,1 persen. "Gagal mencapai target pertumbuhan 7 persen yang dijanjikannya. Jika sekadar melanjutkan narasi besar pembangunan era Presiden Jokowi, mencapai pertumbuhan 7 persen saja akan gagal. Apalagi 8 persen, terlebih lagi double digit. Bagai pungguk merindukan bulan."
Ia menambahkan tantangan terbesar Indonesia adalah ancaman jebakan kelas menengah atau middle income trap yang sudah di depan mata. Pada rentang 2005 sampai 2014, rerata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,8 persen. Bila periode krisis global 2008 dikecualikan, maka diperhitungkan mampu mencapai 5,9 persen. "Namun pada 10 tahun terakhir, pada 2015 sampai 2014, rerata pertumbuhan ekonomi kita diperkirakan hanya di kisaran 4,2 persen. Bahkan lebih rendah dari periode Presiden SBY," kata ekonom tersebut.
Menurut Yusuf, program utama yang seharusnya diusung oleh kandidat Pemilihan Presiden 2024 untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif adalah mengatasi rendahnya kualitas angkatan kerja dan mencegah deindustrialisasi dini secepatnya. Kedua hal tersebut ia nilai menyebabkan bonus demografi yang dicita-citakan tidak banyak memberi manfaat ke industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Hanya dengan industrialisasi dan bonus demografi yang berkualitas saja, perekonomian kita akan terakselerasi menuju negara berpenghasilan tinggi, keluar dari middle income trap," ucap dia.
Pilihan Editor: Saksikan Siaran Langsung Debat Capres 2024 Terakhir di TEMPO Besok