TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK) Chandra Hamzah, mengatakan Hak Guna Bangunan (HGB) Indobuildco terbit bukan karena Indobuildco membebaskan tanah. Pada awalnya, Indobuildco memohon kepada Gubernur DKI Jakarta tahun 1971, Ali Sadikin, untuk menggunakan tanah dan membangun hotel di atas lahan yang sudah dibebaskan dan dibayarkan ganti ruginya oleh negara tahun 1959–1962.
“Jadi, seluruh tanah gelora dibebaskan dan dibayar oleh negara dengan uang negara, bukan oleh Indobuildco,” ujar Chandra dalam keterangan resmi, Jumat, 29 September 2023.
Kemudian, kata Chandra, Gubernur Ali telah menyetujui Indobuildco untuk membangun hotel dan memberikan izin menggunakan tanah selama 30 tahun, dengan syarat Indobuildco wajib membayar royalti atas penggunaan tanah tersebut serta wajib menyumbang sebuah conference hall kepada pemerintah. “Ternyata, izin itulah yang digunakan oleh Indobuildco untuk mendapatkan HGB,” katanya.
Menurut Chandra, tidak ada yang salah dalam penerbitan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) no.169/HPL/BPN/89 atau HPL 1/Gelora kepada Setneg cq PPKGBK. “Hanya saja mungkin mereka belum memahami bagaimana sejarah tanah tersebut,” ujarnya.
Penerbitan HPL atas lahan GBK ini dilakukan pada tahun 1989, setelah UU Agraria terbit tahun 1960. “Secara administrasi terbit tahun 1989, tapi secara yuridis, ketika negara mengganti rugi pembebasan tanah, penguasaan ada pada negara. Itu terjadi pada tahun 1958-1959,” katanya.
Ia pun menegaskan bahwa sejak pembebasan lahan oleh pemerintah, tanah Gelora bukan lagi tanah negara bebas. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara.
“Itulah kemudian yang menjadi dasar penguasaan oleh pemerintah atau yang kemudian dikonversi menjadi hak pengelolaan. Jadi tinggal pengadministrasiannya saja yang belakangan, dan SK HPL 1/Gelora telah dinyatakan sah oleh Putusan Pengadilan, inkracht,” ujar Chandra.
Sementara itu, Saor Siagian, yang juga merupakan kuasa hukum PPKGBK, menyampaikan bahwa Indobuildco harus membayar royalti sekitar Rp 600 Miliar.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Indobuildco Pontjo Sutowo telah melakukan upaya hukum hingga empat kali. Namun keseluruhannya kalah dalam Peninjauan Kembali (PK), yakni pada 2011, 2014, 2020, dan 2022. Indobuildco pada tahun 2023 kembali menggugat pemerintah Menteri ATR melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang akhirnya ditolak juga.
Dalam perjalanannya, Indobuildco sempat terkena kasus pidana terkait perpanjangan HGB tersebut pada 2002 untuk 20 tahun ke depan. Pontjo Sutowo selaku terdakwa mendapatkan putusan lepas pada tingkat PK.
“Jadi putusannya lepas Onslag, bukan bebas. MA bilang pembuatannya salah terbukti. Cuma salahnya bukan pidana, tetapi administratif karena perbuatan perpanjangan HGB tetapi tidak izin ke PPKGBK, sehingga menyalahgunakan kewenangan,” ujar Saor.
Saor menegaskan bahwa pihak Indobuildco seharusnya mengosongkan tanah eks HGB. Jika mereka ingin mengajukan perpanjangan HGB, maka harus terlebih dahulu meminta izin kepada PPKGBK. Saor juga mengutip pernyataan Kapolri apabila PT Indobuildco atau Pontjo Sutowo masih bersikeras, akan ada konsekuensi hukum yang akan terbit, baik itu pidana maupun yang lebih spesifik yaitu tipikor.
Pilihan Editor: Syahrul Yasin Limpo Terjerat Kasus Korupsi, Ini Profil dan Perjalanan Karirnya