TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Arianto Sangadji mengatakan bahwa hilirisasi nikel tidak menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan. Hal tersebut terjadi karena Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hampir seluruhnya tidak dinikmati oleh masyarakat lokal.
”Kemiskinan di Kabupaten Morowali masih tergolong tinggi. Pada 2022, tingkat kemiskinan di Morowali berada di level 12,58 persen,“ kata Arianto dalam Publikasi Kajian Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat di Jakarta pada Senin, 25 September 2023.
Menurutnya, angka kemiskinan ini bahkan lebih tinggi dari rerata kemiskinan di Sulawesi tengah, yaitu 12,33 persen. Bahkan, jika dibandingkan dengan Kabupaten Sigi yang sama sekali tidak mengalami industrialisasi, tingkat kemiskinan di kabupaten tersebut justru lebih rendah yaitu 12,30 persen.
“Derajat penghisapan ekonomi sangat ekstrim terjadi di Morowali dan Morowali Utara, dua kabupaten penghasil utama nikel di Indonesia,” terang Arianto.
Pada 2022, 95,65 persen PDRB di Kabupaten Morowali menguap ke luar daerah. Artinya, masyarakat lokal hanya memperoleh 4,35 persen dari total nilai PRDB tersebut. Sebagai informasi, PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di daerah tersebut.
“Karena investornya dari China, vendornya dari Jawa atau Makassar. Orang di sana bilang, kita hanya terima debu saja,“ tambah Arianto.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menanggapi besarnya jumlah PDRB yang keluar dari Morowali. Menurutnya, angka tersebut sangat besar dan tentu saja masyarakat lokal yang sangat dirugikan.
“95 persen lari keluar, jadi kita mau ngapain? Tidak lebih menyediakan dengan penuh keleluasan untuk perusahaan multinasional mengeruk kekayaan alam secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya,“ kata Faisal dalam kesempatan yang sama.
Ia menyoroti industri nikel yang hampir sepenuhnya dikuasai China, mulai dari tenaga kerja, teknologi, hingga bank-bank China yang juga membiayai industri ini. Menurutnya, jika hilirisasi nikel ini menjadi proyek strategis nasional, maysarakat dapat lebih menikmati hasilnya.
”Kalau proyek strategis nasional, nilai tambah untuk Republik Indonesia tinggi. Nilai tambah ini harus dinikmati seluruh rakyat indonesia, pemerintah pusat, hingga daerah,“ kata Faisal.
Menurutnya, saat ini pemerintahan terkesan membiarkan hal ini. Padahal, pemerintah seharusnya berupaya agar proyek strategis nasional ini hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia dan bukan pihak asing. ”Ini pemerintahan apa, mengabdi kepada siapa?” tegas Faisal.
Pilihan Editor: Siapa Berhak Dapat BLT Kemiskinan Ekstrem, Apa Saja Kriterianya dan Berapa Besarannya?