TEMPO.CO, Jakarta - Sebagai platform social commerce yang menggabungkan antara fungsi media sosial dengan e-commerce, TikTok telah menuai berbagai respon dari masyarakat Indonesia. Tak selalu positif, respons negatif pun diberikan karena fungsi ganda yang dimiliki oleh media sosial tempat berbagi video pendek tersebut.
Bahkan, belakangan ini santer dikabarkan bahwa TikTok Shop telah memukul pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM di Indonesia. Pasalnya, harga yang ditawarkan toko-toko online di TikTok dianggap jauh lebih rendah dari harga pasaran yang membuat para pedagang sulit bersaing. Terbaru, para pedagang di Pasar Tanah Abang mengeluh sepi pembeli hingga menyuarakan penolakan terhadap TikTok Shop.
Selain pedagang pasar tradisional, TikTok Shop juga berpotensi mengancam para pedagang atau pemilik usaha di mall besar. Lantas, apa saja keluhan serta penolakan TikTok Shop dari pedagang dan stakeholder lain?
1. Predatory Pricing
Salah satu ancaman utama yang diberikan TikTok Shop adalah predatory pricing. Ini adalah praktik bisnis yang menetapkan harga suatu produk terlalu rendah untuk menghilangkan persaingan. Baik untuk pedagang di mall atau pasar, praktik ini tentu akan memberikan kerugian karena merusak harga pasaran.
Hal ini pernah dirasakan oleh salah satu pedagang tekstil di Tanah Abang yang bernama Anton. Dia menuturkan bahwa harga jual di TikTok Shop sangat murah. Bahkan, produk yang dijual di Tanah Abang, dijual TikTok dengan harga nyaris separuhnya.