TEMPO.CO, Jakarta - Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita menanggapi aturan tentang pelaksanaan pemberian penjaminan pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Aturan itu termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023.
Sebenarnya, Ronny menjelaskan, soal tata cara penjaminan pemerintah itu tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, Indonesia dan Cina. Perkara lazim atau tidak aturan itu, sepengetahuan dia, lazim dalam konteks investasi Cina yang biasa melakukan tekanan seperti itu kepada negara lain yang menerima investasi dan utang dari Cina.
Dia menilai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 ini hanya formalisasi dari isu yang sudah lama bergulir bahwa Cina meminta jaminan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk utang kereta cepat. “Isu ini (jaminan utang) sudah sudah sejak tahun lalu bergulir, kalau tidak salah sekembalinya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dari Cina kala itu,” ujar dia saat dihubungi pada Rabu, 20 September 2023.
Namun bagi yang memahami cara kerja investasi Cina, menurut Ronny, pasti akan paham ujungnya akan seperti ini. Cina memerlukan jaminan atas kepastian pengembalian dananya di masa depan, karena dana yang dipakai perbankan Cina untuk dipinjamkan atau diberikan kepada BUMM Cina untuk investasi di luar negeri berupa Sovereign Leverage Fund (SLF).
Jadi, Ronny menambahkan, dana yang dipinjamkan dan diinvestasikan bukanlah milik pemerintah Cina. Melainkan bagian dari foreign exchange reserves atau devisa, alias milik pengusaha eksportir Cina yang ada di Bank Sentral Cina. Di Negeri Tirai Bambu itu, devisa tidak dipegang oleh perusahaan eksportir, tapi ditahan di bank sentral.
“Bank sentralnya akan memberikan Dolar kepada pengusaha sesuai kebutuhan impor dan bayar utang saja. Sisanya akan dikembalikan dalam bentuk Yuan, bukan Dolar, meskipun eksportir mendapat Dolar dari aktivitas ekspor,” ucap dia.
Bank Sentral Cina, kata Ronny, mencetak Yuan untuk dikembalikan kepada eksportir, sementara dolarnya ditahan. Lalu, Dolar itulah yang dipakai Cina untuk Belt and Road Initiative—kebijakan luar negeri dan ekonomi Cina—untuk investasi di luar negeri, membiayai BUMN Cina, memberi pinjaman ke pengusaha di negara lain, atau mengakuisisi perusahaan strategis di luar negeri.
“Karena itu lazim disebut sebagai sovereign leverage fund, SLF bukan sovereign wealth fund (SWF),” tutur Ronny.
Artinya dana tersebut tidak bisa dipinjamkan secara cuma-cuma, tapi secara komersial bunganya akan sulit dinegosiasikan. Karena di satu sisi Bank Sentral Cina juga harus membayar bunga kepada pemilik devisa dan tingkat kepastian pengembalian dananya harus sangat tinggi. Namun, di sisi lain karena dana itu bukan dana milik pemerintah.
“Sebab itulah Cina membutuhkan jaminan kuat, utamanya APBN,” kata dia.
Adapun dampaknya terhadap APBN, menurut Ronny, secara nominal tidak ada. Apalagi jika kereta cepat beroperasi dengan baik, dan PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC) atau PT Kereta Api Indonesia (Persero) bisa bayar cicilan dengan lancar, termasuk cost overrun, dan lainnya.
Namun, secara riil, APBN akhirnya tidak saja menanggung beban resmi pemerintah, tapi juga beban "hidden dept" dari BUMN-BUMN. Format jaminan seperti inilah yang dimaksud dengan hidden dept dari Cina atau dept trap (jebakan utang), karena APBN menanggung beban utang yang tak dipungut oleh negara.
“Pun tanpa seizin rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), tapi oleh entitas usaha kerja sama BUMN dengan pihak lain,” ujar Ronny.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 31 Agustus 2023. Pada Pasal 2 disebutkan bahwa penjaminan pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana KCJB dalam Peraturan Menteri ini disediakan dalam rangka memperoleh pendanaan atas kenaikan dan/ atau perubahan biaya (cost overrun) sesuai dengan hasil keputusan Komite.
Sementara di Pasal 3, dijelaskan bahwa penjaminan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan dengan mempertimbangkan beberapa prinsip. Yakni huruf a kemampuan keuangan negara; huruf b kesinambungan fiskal; dan huruf c pengelolaan risiko fiskal.
Sedangkan di Pasal 4 Ayat 1 tertulis penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan atas keseluruhan dari kewajiban finansial PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI terhadap kreditur berdasarkan perjanjian pinjaman.
“Kewajiban financial sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 terdiri atas: huruf a pokok pinjaman; huruf b bunga pinjaman; dan atau huruf c biaya lain yang timbul sehubungan dengan perjanjian pinjaman,” bunyi Pasal 4 Ayat 2.
Pilihan Editor: Sri Mulyani: APBN hingga Agustus 2023 Surplus Rp 147,2 Triliun