TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebut program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) pemerintah belum optimal dalam menstabilkan harga beras. Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai hal itu terjadi karena ada perubahan skema penyaluran sejak April 2023.
Semula, kata Khudori, skema SPHP dilakukan dengan menggandeng pedagang atau distributor. Namun, sejak April 2023 disalurkan lewat ritel. Pada Juli-Agustus pun rata-rata penyalurannya sekitar 68 ribu ton per bulan. Angka itu melebihi tiga kali lipat ketimbang periode April-Juni karena penyaluran langsung ke ritel.
Menurut Khudori, sebenarnya SPHP akan efektif ketika volume penyalurannya besar. "Tapi karena ini skema masih baru, sepertinya luas jangkauan penyaluran ini masih memerlukan waktu," kata Khudori kepada Tempo, Senin malam, 18 September 2023.
Selain volume penyaluran yang besar, kata Khudori, SPHP bakal efektif ketika dibarengi dengan bantuan sosial atau bansos beras. Hal ini tampak dari stabilnya harga beras ketika ada penyaluran bansos pada Maret-Mei, yang kemudian penyalurannya molor hingga Juni.
"Ada kenaikan, tapi tipis. Inflasi pun terkendali, terutama inflasi beras," ujar Khudori.
Sebaliknya, lanjut Khudori, harga beras kembali melambung ketika bansos beras dihentikan pada Juli-Agustus. Beras juga menjadi biang inflasi.
"Ini bisa dimaklumi karena volume bansos beras cukup besar, 210-an ribu ton per bulan atau setara 8 persen kebutuhan konsumsi bulanan," ujar dia.