TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menceritakan perjuangan Anggaran Perdapatan dan Belanja Negara (APBN) selama empat tahun terakhir. Selama periode itu, kata dia, banyak sekali pelajaran bahwa ketidakpastian global akan selalu ada dan APBN sebagai instrumen yang strategis harus mampu melaksanakan tugas alokasi distribusi dan stabilisasi.
“Melindungi rakyat dari berbagai guncangan dan terus memastikan pemulihan dan pembangunan ekonomi yang berdasarkan keadilan dan kesejahteraan bisa terus dijalankan,” ujar dia dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Jakarta Pusat, pada Selasa, 19 September 2023.
Menurut bendahara negara, APBN bekerja sangat keras dan harus terus ditingkatkan efektivitasnya. Sri Mulyani juga menyampaikan terima kasih bahwa DPR RI melalui anggaran menjadi partner yang sangat penting dan strategis di dalam mendesain APBN agar posturnya semakin sehat, tetap kredibel, dan efektif menjawab masalah-masalah pembangunan.
“Pada saat yang sama APBN 2022 telah mampu untuk diturunkan defisit di bawah 3 persen dan terus berjalan di tahun 2023 hingga 2024,” ucap dia.
Sri Mulyani menuturkan akan bersama-sama dengan seluruh kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah akan melihat berbagai pos APBN yang sangat dinamis. Dia menilai APBN bukan hanya merupakan suatu angka yang sifatnya deterministik atau tetap, namun sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi.
Selain itu, menurut dia, pemerintah harus bisa mengelola ketidakpastian dan dinamika tanpa mengerosi kredibilitas APBN dan tetap memberikan kepastian kepada perekonomian. “Serta pada program-program pembangunan nasional, terutama kehadiran negara di hadapan masyarakat dalam menghadapi berbagai ketidakpastian,” tutur Sri Mulyani.
Mantan Direktur Bank Dunia itu juga membeberkan risiko-risiko yang akan dan harus diwaspadai ke depan, terutama menyangkut proyeksi ekonomi global. Risiko pertama, Sri Mulyani melihat dua negara dengan ekonomi terbesar Amerika Serikat dan Cina memiliki karakter ketidakpastian yang harus diwaspadai dan pasti menimbulkan spillover atau rambatan ke seluruh dunia.
Kedua geopolitik dan disrupsi dari rantai pasok yang mempengaruhi harga komoditas yang paling bisa dilihat adalah harga minyak yang telah bergerak. Sekarang sudah di atas US$ 95 dolar per barel, pada saat pemerintah dan DPR RI baru saja memutuskan asumsi harga minyaknya dinaikkan ke US$ 80 dolar per barel. Termasuk juga harga komoditas non minyak yang juga sangat dipengaruhi geopolitik maupun climate change.
“Seperti harga batubara dan harga CPO. Ini semuanya menimbulkan tantangan di dalam pengelolaan APBN yang harus tetap kredibel, reliabel, dan efektif di dalam menjadi instrumen fiskal untuk mencapai tujuan pembanguna,” ucap Menkeu Sri Mulyani.