Daripada melarang impor dengan nilai tertentu, Sonny menyarankan pemerintah mewajibkan platform pelaku transaksi impor cross-border untuk memfasilitasi ekspor lintas negara dengan volume yang lebih tinggi serta pemberian insentif bagi platform yang sudah menjalankan hal tersebut. Insentif dapat diberikan melalui dukungan layanan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta instansi lain yang terkait.
Dia juga menyarankan pemerintah meningkatkan besaran komponen biaya impor berupa peningkatan bea masuk dari 7,5 persen menjadi 10 persen ditambah PPN 10 persen dan PPh. Dengan demikian, kata dia, harga barang impor pun tidak terlalu murah dan barang dalam negeri bisa semakin bersaing.
"Kami sarankan pemerintah melakukan screening atau penyaringan terhadap e-commerce lokal yang tidak melakukan transaksi cross-border. Tujuannya, agar setiap barang yang dijual telah dilengkapi bukti importasi," kata Sonny.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mendukung larangan barang impor di bawah US$100 dolar atau Rp1,5 juta dijual di marketplace. Larangan tersebut nantinya akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Elektronik (PPMSE).
Menurut Teten, hal ini dilakukan demi melindungi produk-produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal. Sehingga, hanya barang-barang di atas Rp1,5 juta yang diperbolehkan diimpor.
"Untuk barang-barang yang sudah diproduksi di dalam negeri, kita engak perlu lagi masuk impor, itu arahan Presiden (Joko Widodo)," kata Teten.
Teten mengatakan bakal segera membentuk satuan tugas penindak barang impor yang membanjiri marketplace. Keputusan ini diambil setelah rapat kabinet di Istana Negara.
Pilihan Editor: Kinerja Hutama Karya Membaik, Raup Laba Bersih Rp 33,73 Miliar