TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan transformsi Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju pada 2045 membutuhkan proses panjang. Ada sederet tantangan yang mesti dilalui.
"Seekarang Indonesia masuk upper middle income country (negara berpendapatan menengah ke atas). Lompatan dari lower ke upper lebih mudah daripada upper ke higher income atau menjadi negara maju," kata Bhima kepada Tempo, Kamis malam, 13 Juli 2023. "Butuh waktu lama. Bahkan bisa jadi target 2045 meleset.
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, pernah menyampaikan bahwa visi Indonesia emas 25 adalah negara Nusantara berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Suharso pun berharap pendapatan per kapita Indonesia sudah setara negara maju. Dia menargetkan nominal US$ 30.300 per kapita pada 2045 atau US$ 21.000 pada 2037.
Pertumbuhan ekonomi pun menjadi tantangan yang harus bisa dijawab. Menurut Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adiniggar Widyasanti, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai 6 hingga 7 persen sebelum 2045. Dengan capaian itu Indonesia bisa keluar dari middle income trap, yakni keadaan ketika negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah tetapi tidak dapat keluar.
Bhima lantas membeberkan sejumalah tantangan yang menghadang Indonesia untuk menggapai cita-cita tersebut. Pertama, bonus demografi. Jika tidak dimanfaatkan dengan baik, pendapatan per kapita Indonesia akan tetap kecil. Kedua, ketersediaan lapangan kerja, kemampuan tenaga kerja, dan aspek lain yang menyangkut sumber daya manusia (SDM).
“Fenomena yang dikhawatirkan adalah kita terlalu cepat deindustrialisasi dini, sebelum lepas landas menjadi negara maju,” ujar Bhima kepada Tempo, Kamis, 13 Juli 2023.
Ketiga, eksploitasi sumber daya alam (SDA). Cukup riskan jika Indonesia terus bergantung pada SDA. “SDA akan habis. Harganya juga fluktuatif.”
Keempat, tantangan dalam inovasi dan digitalisasi. Hal ini yang membuat penyerapan tenaga kerja masih sedikit. Malah, tidak sedikit talenta digital Indonesia yang akhirnya bekerja di perusahaan digital di luar negeri. “Ini ancaman serius bagi kualitas ekonomi kita ke depan.
Di sisi lain, Indonesia mengalami banjir produk impor karena Indonesia masih dipersepsikan sebagai pasar. Jika tidak bisa mengelola digitalisasi dengan baik, kata Bhima, barang impor murah dari Cina akan terus datang ke Indonesia.
Tantangan selanjutnya, soal jaring pengaman sosial yang rendah. Jika besarannya hanya 2,3 persen dari PDB, jaring pengaman sosial, termasuk bantuan sosial dan subsidi, sulit mengangkat orang miskin keluar dari garis kemiskinan. Walhasil, ketimpangan sosial bisa menjadi lebar.
Terakhir, hilirisasi yang berpotensi blunder. Hal ini ketika Indonesia mendorong hilirisasi di sektor fosil. Misalnya, gasifikasi batu bara. Sedangkan Indonesia memiliki arah tujuan net zero emission (NZE) pada 2060. “Akhirnya menjadi kontradiktif dan akan sulit mencari pembiayan jangka panjang,” kata Bhima.