TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menjelaskan pihaknya terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah. Tujuannya untuk mengendalikan imported inflation dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Dia juga membeberkan beberapa kebijakan tersebut. Pertama intervensi di pasar valas dengan transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian atau penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
“Kedua kebijakan melanjutkan twist operation melalui penjualan SBN di pasar sekunder untuk tenor pendek. Guna meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN bagi masuknya investor portofolio asing,” ujar dia dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran, di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, pada Senin, 10 Juli 2023.
Selanjutnya ketiga, instrumen operasi moneter valas Devisa Hasil Ekspor (DHE) berupa term deposit (TD) valas DHE sebagai instrumen penempatan DHE oleh eksportir melalui bank kepada Bank Indonesia. “Serta penambahan frekuensi dan tenor lelang TD Valas jangka pendek dengan suku bunga kompetitif,” kata Destry.
Dia juga menjelaskan ketidakpastian pasar keuangan global menyebabkan nilai tukar rupiah pada Juni 2023 secara rerata sedikit melemah 0,68 persen dibandingkan dengan rerata kurs Mei 2023 atau sebesar 0,02 persen secara point-to-point. Namun, nilai tukar rupiah dibandingkan dengan akhir tahun 2022 secara point-to-point menguat sebesar 3,84 persen.
“Nilai tukar rupiah terkendali sejalan dengan kebijakan stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia,” ucap Destry.
Dengan perkembangan tersebut, penguatan rupiah dibandingkan dengan level akhir 2022 lebih baik dari apresiasi Rupee India dan Peso Filipina. Di mana masing-masing sebesar 0,86 persen dan 0,72 persen maupun Baht Thailand yang mencatat depresiasi 1,90 persen.
Pilihan Editor: Viral Jamaah Haji Pamer Emas, Ini Perbandingan Harga Emas di Arab dan Indonesia