TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan penerimaan pajak semester I 2023 dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Menurut dia, penerimaan pajak masih mampu tumbuh, meskipun besarannya tidak setinggi tahun sebelumnya.
Menurut Sri Mulyani, realisasi penerimaan pajak hingga Juni 2023 sebesar Rp 970,2 triliun. Nilai tersebut 56,5 persen dari target anggaran pendapatan belanja negara (APBN) 2023 yang angkanya Rp 1.718 triliun. Sementara itu, pertumbuhannya baru 9,9 persen atau anjlok dibandingkan pertumbuhan Juni 2022 sebesar 58,2 persen.
"Ini yang kami baca sebagai sebuah pencapaian, namun juga perlunya kewaspadaan," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin, 10 Juli 2023.
Lebih jauh, bendahara negara merinci, setidaknya ada tiga jenis pajak yang masih mampu tumbuh. Di antaranya Pajak Penghasilan atau PPh Badan yang terkumpul Rp 263,7 triliun atau tumbuh 26,2 persen dari periode sebelumnya Rp 209 triliun yang saat itu tumbuh 133,7 persen.
Kemudian, ada Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dalam negeri sebesar Rp 217 triliun atau tumbuh 23,5 persen dari semester I 2022 nilainya Rp 175,6 triliun atau tumbuh 39,3 persen. Selanjutnya PPh 21 terkumpul Rp 107,7 triliun atau tumbuh 18,3 persen dari Rp 91 triliun pada semester I 2022 tumbuh 19,3 persen.
Sedangkan jenis penerimaan pajak yang turun yakni PPN impor sebesar minus 0,4 persen menjadi Rp 123,7 triliun. Angka tersebut lebih kecil dari realisasi semester I 2022 Rp 124,2 triliun atau tumbuh 44,7 persen. Lalu, PPh Final turun 47 persen menjadi Rp 57,1 triliun dari Rp 107,8 triliun pada periode yang sama tahun lalu yang tumbuh 90,8 persen.
"PPN impor itu yang kita waspadai karena pelemahan perdagangan internasional, terlihat PPN Impor terkontraksi 0,4 persen,” ucap Sri Mulyani.
Lemahnya penerimaan pajak ini juga terlihat dari pertumbuhan penerimaan kumulatif per sektor usaha. Setoran pajak sektor industri pengolahan hanya tumbuh 8 persen pada semester I 2023 atau turun drastis dari pertumbuhan semester I 2022 sebesar 51,6 persen.
Kemudian sektor perdagangan hanya tumbuh 7,3 persen dari sebelumnya 73,2 persen. Sebagai tambahan, pertambangan menjadi sektor yang anjloknya paling dalam hanya tumbuh 51,7 persen dari pertumbuhan 294,9 persen pada semester I 2022.
Di sisi lain, masih ada yang mampu tumbuh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Yakni sektor jasa keuangan dan asuransi tumbuh 27,5 persen dari sebelumnya 16 persen, transportasi dan pergudangan menjadi 43,5 persen dari 16,9 persen, konstruksi dan real estate 14,4 persen dari 14,1 persen, informasi dan komunikasi 14,9 persen dari 14 persen, dan jasa perusahaan tumbuh 28,6 persen dari 20 persen.
“Untuk setoran pajak industri pengolahan dan perdagangan melambat karena tingginya basis 2022 serta perlambatan impor. Kontribusi pajak-pajak impor sektor ini lebih dari 30 persen,” tutur Sri Mulyani.
Sementara, penerimaan pajak sektor perdagangan melambat. Alasannya karena tingginya harga komoditas pada 2022 yang mengakibatkan peningkatan profitabilitas dan PPh Badan yang dibayarkan saat pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak.
Pilihan Editor: Viral Jamaah Haji Pamer Emas, Ini Perbandingan Harga Emas di Arab dan Indonesia