Ketiga, Yusuf menilai penerimaan negara dari hilirisasi cenderung rendah. Menurut dia, pelarangan ekspor bijih nikel membuat harga nikel di pasar domestik menjadi jatuh, jauh dibawah harga internasional yang membuat penerimaan royalti jauh menurun.
Dia melanjutkan, dengan sebagian besar investasi di hilirisasi mendapatkan tax holiday, penerimaan pajak perusahaan juga cenderung minim. "Dengan sebagian besar produk smelter di ekspor dan tidak dikenakan pungutan, maka pendapatan negara dari PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan pajak ekspor juga minim," tutur dia.
Keempat, kata dia, kebijakan hilirisasi berbasis pelarangan ekspor bijih tambang diduga telah memicu ekspor illegal dan penambangan nikel illegal dalam jumlah yang signifikan. Dengan penegakan hukum yang lemah dan tanpa pelarangan ekspor saja, Yusuf menilai negara sering dirugikan dari rendahnya penerimaan pajak akibat praktek under-invoicing dalam ekspor komoditas.
"Terkini, KPK mengungkap indikasi ekspor illegal bijih nikel ke Cina hingga 5,3 juta ton dalam rentang Januari 2020 – Juni 2022," ungkap Yusuf.
Adapun penyebab kelima adalah penerimaan upah dan gaji pekerja cenderung rendah karena smelter bersifat sangat padat modal. Nilai tambah hilirisasi dari penciptaan lapangan kerja yang kecil ini, menurut Yusuf masih harus dibagi antara tenaga kerja asing dan lokal.
Sebab, perusahaan smelter Cina banyak membawa tenaga kerja dari negaranya, termasuk tenaga kerja tidak terlatih yang seharusnya menjadi 'jatah' pekerja lokal.
"Perusahaan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) lokal yang tidak berafiliasi ke smelter juga mengalami kejatuhan penerimaan yang signifikan akibat HPM (Harga Patokan Mineral) bijih nikel di pasar domestik yang sangat rendah," ujar Yusuf.
Terakhir, Yusuf menilai nasionalisme ekonomi dari kebijakan hilirisasi tambang, yaitu meningkatkan nilai rantai produksi di dalam negeri sekaligus memutuskan diri dari ketergantungan pada pasar global sebagai pemasok bahan mentah, telah menjadi ironi.